Jakarta, 2 Juli 2025 — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pemilu nasional (DPR, DPD, dan Pilpres) harus dilaksanakan terpisah dari pemilu daerah (DPRD, Pilkada), dengan jeda waktu minimal 2 tahun dan maksimal 2,5 tahun.
Putusan ini memicu berbagai reaksi dari partai politik di DPR. Sekjen Partai Demokrat, Herman Khaeron, menyoroti kemungkinan perpanjangan masa jabatan DPRD hingga dua tahun serta implikasinya terhadap periodisasi kepengurusan partai dan beban pembiayaan partai.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Adies Kadir, mempertanyakan konsistensi MK. Ia menyinggung seringnya perubahan putusan MK dan mempertanyakan prinsip final and binding. “Apakah putusan berubah tergantung hakim atau rezim yang berkuasa?” ujar Adies.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal, menilai MK telah melampaui kewenangannya dan meminta lembaga tersebut menjaga konstitusi yang mengatur pemilu setiap lima tahun. Ia juga menyoroti dampak negatif dari perpanjangan masa jabatan kepala daerah.
Politikus PDIP sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, mengusulkan agar pemilu dipisah berdasarkan fungsi horizontal: pemilu eksekutif (pilpres dan pilkada) dan pemilu legislatif (DPR dan DPRD). Menurutnya, pemisahan berbasis vertikal seperti dalam putusan MK bisa menimbulkan kekosongan jabatan.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi NasDem, Rifqinizamy Karsayuda, mengkritik MK karena dianggap bertindak sebagai positive legislature dengan menciptakan norma baru, bukan sekadar membatalkan pasal inkonstitusional. Ia meminta Presiden dan DPR mencermati secara serius putusan tersebut agar tidak mengganggu proses legislasi nasional.
Partai-partai menyatakan akan berkonsolidasi dan membahas lebih lanjut dampak politik, teknis, dan hukum dari putusan MK yang dinilai akan mengubah peta sistem pemilu di Indonesia.