Liputan6.com, Jakarta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun (SD-SMP) di sekolah negeri dan swasta dinilai akan berdampak pada keuangan negara.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar, Adde Rosi, dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/6/2025).
Adde Rosi menekankan pentingnya menyeimbangkan semangat afirmasi untuk kesetaraan akses pendidikan dengan realitas partisipasi masyarakat dan kemampuan fiskal negara.
Adde Rosi menyatakan pemahamannya atas semangat konstitusional putusan MK guna menghapus diskriminasi dan hambatan ekonomi, khususnya bagi peserta didik yang terpaksa ke sekolah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.
“Kami mengapresiasi penegasan MK bahwa negara wajib memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat akses pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi atau sarana,” ujar Adde.
Ia menekankan bahwa putusan MK tetap memberikan ruang bagi sekolah swasta mandiri untuk membiayai operasionalnya selama memenuhi kriteria, tanpa dipaksa gratis tanpa dukungan anggaran negara.
Adde Rosi juga menyuarakan kekhawatirannya terhadap partisipasi masyarakat. “Partisipasi aktif ormas seperti NU dan Muhammadiyah melalui ribuan sekolah swasta mereka adalah tulang punggung pendidikan Indonesia sejak pra-kemerdekaan,” ucap Adde.
Legislator Golkar Dapil Banten I itu khawatir, jika tidak dirancang dengan hati-hati, kebijakan pendidikan gratis ini berpotensi mengurangi semangat gotong royong dan membebani negara secara finansial. Adde menambahkan, sekolah berbasis masyarakat ini turut memperkaya khazanah pendidikan nasional dengan kearifan lokal dan nilai keagamaan.
Pada aspek pembiayaan pendidikan dasar gratis, Adde mempertanyakan kesiapan anggaran pemerintah. Data Kementerian Keuangan (2025) menunjukkan alokasi pendidikan APBN 2025 mencapai 20% (Rp724 triliun), namun sebagian besar terserap untuk gaji guru, BOS, dan infrastruktur sekolah negeri.
“Jika harus menanggung biaya operasional penuh sekolah swasta dasar-menengah juga, dari mana sumber tambahan anggarannya? Apakah pemerintah siap realokasi atau naikkan defisit di tengah program efisiensi?” ucap Adde.
Aspek lain dari kesiapan anggaran adalah perlunya penataan alokasi anggaran, sebagai salah satu contohnya adalah pengelolaan Perguruan Tinggi Kementerian Lembaga (PTKL), yang menghabiskan 39% dari total anggaran fungsi pendidikan dalam APBN 2025, sementara Kemendiktisaintek hanya mengelola 22% dari anggaran tersebut.
Ironisnya, jumlah mahasiswa di PTKL hanya sekitar 200 ribu, jauh lebih kecil dibandingkan mahasiswa di PTN (3,9 juta) dan PTS (4,4 juta). Penyelenggaraan PTKL saat ini tersebar di 24 kementerian dan lembaga dengan total 124 perguruan tinggi dan 892 program studi.
Perlu penyederhanaan dan penataan sistem PTKL untuk memastikan tidak ada lagi pemborosan anggaran dan tumpang tindih kebijakan, agar hanya fokus pada pendidikan kedinasan. Program studi umum yang tidak sesuai dengan mandat Undang-undang harus dihapuskan karena bertentangan dengan Undang-undang.