
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tipideksus) Bareskrim Polri kini menelisik kemungkinan keterlibatan kartel dalam kasus peredaran beras oplosan yang merugikan konsumen hingga Rp99,35 triliun. Meski demikian, sejauh ini penyidik belum dapat menarik kesimpulan akhir karena proses pendalaman masih berlangsung dari hulu hingga hilir.
Brigjen Helfi Assegaf, Dir Tipideksus sekaligus Kasatgas Pangan Polri, menjelaskan bahwa penyidikan terhadap indikasi kartel atau mafia beras harus mengungkap jejaring berkesinambungan dari produsen hingga distributor. “Untuk kartel kita belum bisa memberikan kesimpulan karena prosesnya masih panjang sekali,” ujar Helfi saat konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
Penyelidikan terhadap pelaku baik perorangan maupun korporasi terus berlanjut sebelum digelar perkara penetapan tersangka. Helfi menegaskan, “Terkait masalah tersangka, bisa perorangan dan bisa korporasi. Kenapa demikian? Karena profitnya otomatis perusahaan yang akan menikmati.”
Status perkara telah dinaikkan ke tahap penyidikan setelah ditemukan unsur pidana. Penyelidikan bermula atas surat Menteri Pertanian kepada Kapolri tertanggal 26 Juni 2025, yang memaparkan hasil investigasi mutu dan harga beras kategori premium dan medium di 10 provinsi selama 6–23 Juni 2025. Dari 268 sampel pada 212 merek:
- Beras Premium:
- 85,56 % sampel di bawah standar mutu regulasi
- 59,78 % melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET)
- 21,66 % kemasan berat riil di bawah standar
- Beras Medium:
- 88,24 % sampel di bawah standar mutu regulasi
- 95,12 % melebihi HET
- 90,63 % kemasan berat riil di bawah standar
Berdasarkan temuan tersebut, potensi kerugian konsumen mencapai Rp99,35 triliun per tahun, terbagi atas Rp34,21 triliun untuk beras premium dan Rp65,14 triliun untuk beras medium. Para produsen beras oplosan diduga melanggar Pasal 62 juncto Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan f UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.