Jakarta – Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menyatakan industri hasil tembakau (IHT) merupakan sektor strategis yang berkontribusi besar bagi perekonomian nasional, baik melalui penerimaan negara maupun penyerapan jutaan tenaga kerja dari hulu hingga hilir.
Namun, keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026 menuai perdebatan. Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mempertanyakan apakah kebijakan ini bertujuan menjaga stabilitas industri atau justru mengorbankan kesehatan publik dan penerimaan negara.
Achmad mengibaratkan cukai rokok sebagai “rem darurat” untuk menekan konsumsi. Menurutnya, jika tarif dibiarkan tetap, rem itu seolah dilepas demi menjaga tenaga industri rokok, namun berisiko menimbulkan “kecelakaan sosial” di masa depan.
Dari sisi industri, keputusan ini memberi kepastian bagi produsen, terutama sigaret kretek tangan (SKT), serta menjadi kabar baik bagi buruh linting dan konsumen yang khawatir terhadap kenaikan harga maupun maraknya rokok ilegal.
Meski demikian, Achmad menilai manfaat tersebut hanya bersifat jangka pendek. Tren global menunjukkan konsumsi rokok terus menurun, bergeser ke produk alternatif seperti vape. Tanpa roadmap transisi dan diversifikasi, industri tembakau dikhawatirkan terjebak stagnasi di masa mendatang.