“Kamu curang!,” tuding Bank kepada Lynn dalam suatu adegan di film Thailand, Bad Genius (2017). Ia menolak ajakan Lynn: ikut ujian universitas tingkat internasional, lalu menjual kunci jawabannya. Penikmat kunci jawaban ini tak lain ialah orang-orang ber-uang.
Bank tak suka cara Lynn yang menjual kepintarannya demi uang. Ia tahu belaka kalau Lynn—si miskin, namun pintar—ini menjadikan percontekan sebagai ladang keuntungan. Di masa-masa ujian sekolah, Lynn kerap kali memberi contekan demi mendapat bayaran.
“Meskipun kamu gak curang, hidup bisa mencurangi kamu,” tandas Lynn. Ia sadar betul, hidup ini merupakan kompetisi antara si kaya dan si miskin. Mereka yang memiliki uang selalu menjadi pemenang. Sedangkan, mereka yang tidak ber-uang, harus berusaha lebih keras demi mencapai yang mereka inginkan. Ia memosisikan dirinya dan Bank sebagai yang kedua. Memang selama sekolah, keduanya berusaha menjuarai perlombaan “ini” dan “itu” demi mempertahankan beasiswa mereka.
Ucapan Lynn tadi rupanya membuat Bank tergerak mengikuti ajakannya.
Dari film ini kita belajar bahwa hidup ini selalu berpihak pada mereka yang memiliki uang. Barang siapa yang ber-uang, niscaya ia mudah meraih apa pun. Contohnya, di aspek pendidikan.
Film ini juga menjelaskan betapa bobroknya sistem pendidikan. Di kesempatan kali ini, biarlah saya fokus membahas soal kompetisi tadi.
Masyarakat hari ini menganggap pendidikan itu penting. Sebetulnya ijazahnya yang paling penting. Pengalaman itu nomor dua. Alasan umumnya yakni agar mudah diterima di lapangan kerja. Semakin tinggi ijazah pendidikan, semakin nyaman pekerjaannya. Nyaman di sini artinya tidak banyak gerak, namun berpendapatan tinggi—mungkin.
Tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hanya orang-orang yang mampu membayar yang bisa mengaksesnya. Jadi, semua itu bergantung pada kemampuan ekonomi tiap orang.
Tiga tahun belakangan, pemerintah Indonesia memfokuskan pembangunan infrastruktur non pendidikan. Sehingga alokasi dana untuk bantuan pendidikan dikurangi. Ini artinya beban bagi peserta didik bertambah; bayaran sekolah meningkat. Di ranah perguruan tinggi, misalnya.
Biaya untuk mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi tidaklah murah. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang seharusnya menjadi ujung tombak pendidikan justru mematok biaya yang tak mungkin terjangkau bagi masyarakat menengah kebawah khususnya bagi calon mahasiswa baru yang diterima melalui jalur ujian mandiri.