Tawuran Bukan Kenakalan Remaja Biasa

Diposting pada

Jakarta – Fenomena tawuran remaja tidak dapat lagi dipandang sebagai kenakalan biasa. Itu merupakan cermin dari masalah sosial struktural yang membutuhkan intervensi menyeluruh hingga ke akar persoalan. Hal itu disampaikan Sosiolog Universitas Indonesia, Ida Ruwaida Noor.

“Tawuran bukan hanya gejala sosial, tapi merupakan masalah sosial, yang perlu ada intervensi hingga ke akar masalah,” kata dia saat dihubungi, Rabu (14/5/2025).

Berdasarkan pengalamannya melakukan pendampingan pada kelompok remaja pelaku tawuran bersama tim dari Departemen Sosiologi UI, Ida menemukan salah satu akar masalah terletak pada kurangnya rekognisi terhadap kelompok remaja tertentu, terutama yang berasal dari kelas menengah bawah dan tinggal di kawasan padat penduduk.

“Yang tinggal di area padat penduduk, dan atau di sekolah-sekolah yang dianggap bukan favorit. Artinya mereka mengalami marginalisasi, bahkan juga stigmatisasi. Pemerintah Kota cenderung bias kelas menengah atas,” ujar dia

Situasi ini, kata Ida, menjadi latar terbentuknya kohesi sosial yang justru dibangun atas dasar kesadaran kolektif terhadap pembangunan kota yang tidak berkeadilan sosial.

Pemicu

Lebih lanjut, Ida menjelaskan tindakan kekerasan remaja umumnya lebih dipicu oleh lingkungan sosial, khususnya peer group atau kelompok sebaya yang terbentuk di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal.

Dalam konteks ini, peran keluarga dan sekolah kerap kali tidak cukup kuat untuk menjadi kontrol sosial yang efektif.

“Upaya pencegahan seharusnya bisa berbasis komunitas TMSK sinkronisasi peran keluarga, sekolah, dan infrastruktur sosial, khususnya kelompok-kelompok keagamaan di komunitas,” ujar dia.

Tayangan Kekerasan

Dalam kesempatan itu, Ida turut menyoroti peran media dalam membentuk pola pikir dan perilaku remaja. Tayangan kekerasan, dinilai ikut berkontribusi dalam membentuk pola perilaku antisosial yang ditiru oleh anak-anak muda.

“Catatan utama perlu ditujukan kepada media, termasuk film-film genre kekerasan, intensitas info-info atau tayangan kekerasan, termasuk kekerasan dari ormas-ormas atau pihak-pihak lain yang dijadikan rujukan (role model) dalam bersikap dan berperilaku. Negara harus ikut aktif mengontrol media, yang lebih dominan menayangkan perilaku anti sosial,” tandas dia.