Di tengah berbagai situasi ekonomi belakangan, tampaknya generasi muda Indonesia akan semakin sulit untuk bisa membeli rumah. Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, dalam satu kesempatan. Hal ini terkait dengan adanya tren kenaikan suku bunga acuan yang dimulai oleh The Fed secara agresif belakangan ini, dan direncanakan masih akan terjadi hingga akhir tahun 2022 nanti. Saat ini, Bank Indonesia diketahui masih berusaha menahan suku bunga acuannya, tetapi peluang untuk naik akan tetap ada, mengingat kondisi yang semakin berkembang dewasa ini. Table of contents Benarkah Akan Sulit untuk Membeli Rumah Impian? Impitan kebutuhan ekonomi ditambah dengan harga berbagai kebutuhan yang meningkat dan suku bunga yang semakin tinggi membuat milenial semakin jauh dari impian untuk memiliki rumah sendiri. Padahal, sepertinya segala upaya program bantuan sudah diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban, dari mulai memberikan subsidi selisih bunga hingga pengadaan rumah subsidi. Tetapi, tampaknya beban yang berat belum terangkat. Apalagi dengan kondisi kebanyakan generasi milenial juga merupakan sandwich generation, yang tak hanya harus menghidupi diri sendiri tetapi juga harus membiayai hidup orang tua atau keluarga besarnya. Beberapa Hal yang Membuat Milenial Sulit untuk Membeli Rumah Dalam penelusuran ke beberapa media, berhasil dikumpulkan beberapa alasan mengapa milenial dan generasi muda Indonesia sulit untuk membeli rumah. Yuk, dikepoin! 1. Kesulitan mengumpulkan DP Salah satu alasan mengapa terasa sulit untuk membeli rumah, termasuk dengan cara kredit adalah harus menyiapkan down payment alias DP yang terhitung juga sangat besar. Besaran DP biasanya memang ada di kisaran 10% hingga 20%. Jadi, misalnya, untuk membeli rumah Rp500 juta, maka DP yang harus disediakan setidaknya adalah Rp100.000.000. So, dengan besaran DP ini, banyak milenial mengeluh, bukannya enggak pengin beli rumah, tapi ketika mencoba menabung DP, saat DP sudah terkumpul, ternyata harganya juga sudah naik. Memang ada opsi DP 0%, tetapi dengan DP seringan ini maka sudah bisa dipastikan, cicilannya akan semakin besar. 2. Skema fixed dan floating rate Selain masalah besarnya DP, suku bunga yang tinggi juga membuat cicilan KPR setiap bulannya akan terasa sangat berat. Perlu diketahui, bahwa rata-rata bank yang memiliki program KPR akan menawarkan 2 skema besaran bunga, yakni fixed dan floating rate. Memang bisa berbeda di setiap bank karena tergantung dengan kebijakannya, tetapi kebanyakan menawarkan fixed rate selama 2 tahun. Setelah itu, akan berlaku floating rate dengan mengikuti perkembangan suku bunga di pasar. Memang ada skema KPR syariah, yang memungkinkan nasabah membayar bunga tetap hingga lunas. Tetapi, cicilannya tetap dianggap terlalu besar. 3. Rumah subsidi kurang memenuhi standar So, pemerintah bukannya menutup mata juga dengan kesulitan yang harus dihadapi oleh sebagian besar masyarakat ini. Ada banyak program bantuan dibuat, demi meringankan beban, terutama mereka yang berpenghasilan pas-pasan untuk bisa membeli rumah. Salah satunya dengan penyediaan rumah bersubsidi. Namun, hasil dari penelusuran berbagai sumber, rumah subsidi ternyata banyak yang belum bisa memenuhi harapan masyarakat. Ada beberapa alasan, di antaranya: Sering kali yang terjadi, lokasi rumah subsidi terlalu jauh dari tempat kerja, sehingga butuh tambahan biaya lebih banyak untuk transportasi. Setelah dihitung-hitung, malah jadi beberapa kali lipat pengeluaran. Banyak yang merasa, kualitas rumah subsidi jauh di bawah kualitas rumah komersial. Banyakk terjadi, ketika sudah mulai dihuni, beberapa bagian rusak dan harus diperbaiki. Biaya renovasi rumah subsidi juga akhirnya menghabiskan anggaran. Mulai dari menutup dapur, membuat sumur, sampai memperbaiki bagian rumah yang lain. So, kalau bisa mendapatkan rumah subsidi, milenial tetap harus punya dana untuk tambahan ini. 4. Penghasilan tidak tetap Skema penghasilan dari para milenial sendiri juga bergeser akhir-akhir ini. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk merintis usaha sendiri, alih-alih bekerja di perusahaan. Memang ada banyak hal lebih positif yang ditawarkan oleh upaya bisnis atau usaha sendiri ini. Tetapi, pastinya, ada juga trade off-nya. Salah satunya, dengan penghasilan yang tidak tetap, kebanyakan pengajuan KPR ke bank akan ditolak. Memang ada sekian banyak syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan KPR. Salah satunya adalah penghasilan. Bank sendiri menerapkan hal ini sebagai satu upaya manajemen risiko kredit, sehingga mereka harus menetapkan cicilan maksimal 30% dari penghasilan debitur. So, misalnya kamu memilih rumah yang cicilan KPRnya Rp5 juta per bulan, maka penghasilanmu setidaknya harus Rp15 juta per bulan. Nah, ini akan terasa berat bagi milenial yang masih merintis usaha, atau mereka yang bekerja dan berpenghasilan tidak tetap.