Jakarta, 23 Juni 2025 — Serangan militer Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—pada Minggu (22/6) menjadi titik balik konflik laten antara AS, Iran, dan Israel. Operasi udara dan laut yang dijuluki Midnight Hammer ini dijalankan secara senyap dengan melibatkan 14 bom super berat GBU-57 dan rudal jelajah Tomahawk. Presiden AS Donald Trump mengumumkan serangan tersebut satu jam setelah operasi selesai.
Ketegangan meningkat seiring ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz, jalur vital yang dilalui 20–25% pasokan minyak dunia. Parlemen Iran telah menyetujui rencana penutupan, tinggal menunggu persetujuan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.
Pengamat hubungan internasional Irfan Ardhani menyebut serangan ini sebagai bentuk “penyelesaian sengketa dalam posisi kekuatan”. Ia menggarisbawahi bahwa hukum internasional gagal membatasi tindakan negara, sementara negara-negara besar seperti Rusia dan China cenderung mendorong de-eskalasi.
Penasihat ISMES Smith Alhadar menilai respons Iran akan menargetkan pangkalan AS di Timur Tengah, namun kemungkinan perang berkepanjangan kecil karena tingginya biaya strategis dan ekonomi. Pengamat Teuku Rezasyah menambahkan bahwa konflik berpotensi meluas karena Israel dan AS dianggap sebagai pemicu utama ketegangan global saat ini.
Dari sisi ekonomi, Ekonom Syafruddin Karimi memperingatkan lonjakan harga minyak hingga USD 130 per barel jika Hormuz ditutup. Ini akan memicu inflasi global dan menekan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pemerintah RI disebut harus siap dengan intervensi fiskal dan moneter untuk meredam dampaknya.
Sementara itu, operasi serangan yang dilakukan oleh tujuh pesawat pengebom siluman B-2 dan kapal selam AS ini mencatat penggunaan pertama bom GBU-57 dalam pertempuran nyata. Serangan yang berlangsung selama 20 menit tersebut dinilai berhasil melumpuhkan target, menurut pernyataan resmi Gedung Putih dan Pentagon.
Konflik ini diperkirakan belum mencapai puncaknya, sementara dunia menanti kemungkinan langkah balasan Iran dan posisi negara-negara besar dalam menyikapi eskalasi geopolitik yang mengancam stabilitas global.