Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak setelah parlemen Iran memutuskan menutup Selat Hormuz, jalur vital bagi hampir seperlima perdagangan minyak global.
Liputan6.com, Jakarta Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak setelah parlemen Iran memutuskan menutup Selat Hormuz, jalur vital bagi hampir seperlima perdagangan minyak global.
Keputusan ini disampaikan anggota senior parlemen Iran, Esmaeil Kowsari, Minggu (22/6), sebagai bentuk respons terhadap serangan militer Amerika Serikat (AS) dan sikap diam komunitas internasional.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, menyebut dampak paling nyata akan dirasakan negara-negara di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara termasuk Indonesia.
“Saya kira yang akan terimbas itu justru Singapura ya, kemudian Indonesia atau wilayah Asia Tenggara dan juga Tiongkok,” kata Yayan kepada Liputan6.com, Senin (23/6/2025).
Sebaliknya, negara-negara Eropa dan India kemungkinan tidak akan terlalu terpengaruh karena mereka memiliki alternatif pasokan.
“Kalau misalkan untuk wilayah Eropa dan kemudian misalkan seperti India ya, mungkin bisa dari Rusia lewat darat dan kalau Uni Eropa mungkin bisa menggunakan minyak dari Amerika Serikat dan beberapa negara lain,” ujarnya.
Yayan menambahkan, untuk mencegah lonjakan harga minyak yang lebih drastis, diperlukan langkah diplomasi segera.
“Untuk menstabilkan eskalasi dari kenaikan harga minyak ini, ya mungkin harus diajukan yaitu adanya gencatan senjata dan perdamaian antara Iran, Amerika Serikat, kemudian Israel,” ujarnya.
Menurutnya, ketiga negara ini memang harus segera didamaikan, sehingga akan menciptakan stabilisasi pasar. Jika produksi minyak Iran menurun akibat eskalasi ini, Yayan memperkirakan negara-negara OPEC seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab akan meningkatkan produksinya guna menjaga keseimbangan suplai global.