Kondisi sampah terlihat menumpuk di sekitar Pasar Cimanggis, Tangerang Selatan, Banten, beberapa waktu lalu, setelah penutupan sementara Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipeucang.
Sampah yang menumpuk sebagian besar berupa campuran sampah organik dan anorganik tanpa pemilahan.
Di antara tumpukan tersebut, ditemukan banyak kemasan produk sekali pakai yang seharusnya dapat ditarik kembali oleh produsen sebagai bagian dari tanggung jawab pengelolaan limbah.
Kondisi ini menegaskan perlunya penerapan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR), di mana, produsen bertanggung jawab tidak hanya saat memproduksi dan mendistribusikan produk, tetapi juga hingga kemasan produk tersebut mencapai akhir masa pakainya.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova menjelaskan, cemaran mikroplastik tidak hanya berasal dari kemasan plastik seperti makanan, minuman, atau produk sachet, tetapi juga dapat muncul dari sampah seperti puntung rokok.
Plastik yang sulit terurai membuat peran konsumen membuang sampah pada tempatnya semakin penting, sekaligus perlu didukung penerapan EPR oleh produsen.
“Kita sudah tahu ini, sebenarnya EPR ini harusnya dipakukan untuk seluruh sampah dari produsen,” tutur Reza, melansir Antara, Selasa (23/12/2025).
Ancaman Mikroplastik dan Lemahnya Penanganan Sampah
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencatat, dari 38,59 juta ton sampah nasional pada 2024, sampah plastik menyumbang 19,46 persen, terbesar kedua setelah sisa makanan.
Peninjauan KLH menunjukkan, pengelolaan sampah baru mencapai sekitar 24 persen. Hal ini menimbulkan risiko besar bagi lingkungan, terutama karena plastik yang sulit terurai dapat menghasilkan pencemaran mikroplastik.
“Sumber mikroplastik tidak hanya berasal dari kemasan plastik, tetapi juga dari sampah lain seperti puntung rokok,” ucap Reza.
Filter rokok berbahan selulosa asetat dapat terurai menjadi serat mikroplastik setelah terpapar panas dan cuaca dalam jangka panjang.
Mikroplastik tersebut berpotensi menyerap polutan berbahaya, termasuk logam berat, sebelum akhirnya masuk ke rantai makanan manusia.
“Mikroplastik yang terbawa ke lingkungan dapat menyerap polutan lain dan masuk ke rantai makanan manusia, memperburuk pencemaran,” papar Reza.
Penguatan Regulasi EPR Jadi Kunci Pengurangan Sampah
Pemerintah telah memiliki dasar hukum untuk mendorong peran produsen melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Regulasi ini mengatur kewajiban produsen untuk melakukan pengurangan sampah melalui pengomposan, daur ulang, guna ulang, hingga penarikan kembali produk.
Meski demikian, penerapan EPR masih terbatas. Data KLH hingga Juni 2025 mencatat, belum ada 50 perusahaan yang menyusun peta jalan pengurangan sampah.
National Plastic Action Partnership (NPAP) menilai kondisi ini terjadi karena penerapan EPR masih bersifat sukarela dan belum diatur secara tegas.
Community Coordinator NPAP, Bunga Karnisa, menyebut diperlukan Peraturan Presiden (Perpres) yang mewajibkan seluruh produsen bertanggung jawab atas pengelolaan sampah plastik mereka.
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, penguatan regulasi EPR dibutuhkan agar target pengelolaan sampah 100 persen pada 2029 dapat tercapai, dengan peran aktif produsen.
Kolaborasi dan Infrastruktur Kunci Kelancaran Implementasi EPR
Penyusunan aturan EPR membutuhkan kerja sama berbagai pihak, tidak hanya pemerintah pusat seperti KLH dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), tetapi juga pemerintah daerah, korporasi, dan perwakilan masyarakat.
Penerapan EPR tidak hanya berdampak pada perusahaan, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif pemerintah daerah dan masyarakat.
Implementasinya mencakup pemilahan sampah oleh individu, pengumpulan dan pengangkutan sampah terpilah hingga fasilitas pengolahan, kemudian ditarik kembali oleh produsen.
Dari sisi korporasi, produsen harus merancang kemasan ramah lingkungan dan menyiapkan sistem pengumpulan serta pengangkutan agar tidak membebanitempat pemrosesan akhir.
Kondisi geografis Indonesia yang terpisah antarpulau menambah kebutuhan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai. Pengawasan pemerintah juga diperlukan untuk memastikan industri menaati aturan.
Dengan kolaborasi ini, EPR diharapkan dapat berjalan efektif dan mendukung target pengelolaan sampah, sehingga sampah menumpuk tidak lagi menjadi pemandangan umum di kota-kota Indonesia.










