Liputan6.com, Padang – Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, menilai bencana yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera seharusnya menjadi alarm serius bagi pemerintah dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya terhadap warga negara. Tidak ditetapkannya status bencana nasional, menurutnya, bukan sekadar persoalan administratif, melainkan mencerminkan pilihan politik negara untuk tidak bertindak secara maksimal.
Ilhamdi menjelaskan, dalam perspektif hukum tata negara, negara memiliki kewajiban aktif untuk melindungi warganya, terutama dalam situasi darurat seperti bencana. Ketika pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan status bencana nasional namun memilih tidak melakukannya, maka keputusan tersebut dapat dibaca sebagai bentuk pengabaian yang disengaja.
“Pengabaian itu bukan berarti negara tidak tahu. Pengabaian berarti negara tahu, punya pilihan, tetapi memilih untuk tidak bertindak,” katanya, Jumat (19/12/2025).
Menurutnya, penetapan status bencana nasional bukan sekadar simbol, tetapi membuka akses yang jauh lebih luas terhadap sumber daya negara, koordinasi lintas kementerian, hingga keterlibatan penuh pemerintah pusat dalam penanganan korban. Ketika status itu tidak ditetapkan, ruang intervensi negara menjadi terbatas dan beban justru jatuh lebih besar kepada pemerintah daerah serta masyarakat.
Ilhamdi menilai, situasi ini tidak bisa dilepaskan dari cara kekuasaan dijalankan hari ini. Ia menyoroti kecenderungan terkonsentrasinya sumber daya material dan kekayaan pada segelintir elite, yang berdampak pada arah kebijakan negara. Dalam konteks tersebut, keputusan politik kerap kali tidak sepenuhnya berangkat dari kepentingan publik, melainkan dari pertautan kepentingan antara elite politik dan oligarki.
“Dampaknya terlihat dalam kebijakan. Ketika negara lambat atau abai merespons penderitaan rakyat, itu menunjukkan ada masalah serius dalam itikad penyelenggaraan kekuasaan,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi narasi kekuasaan yang kerap membangun wacana tentang ancaman eksternal dan kekuatan bangsa, namun abai terhadap persoalan konkret yang dihadapi warga. Menurut Ilhamdi, pola semacam ini berbahaya karena berpotensi mengaburkan tanggung jawab negara atas kegagalan internalnya sendiri.
“Dalam banyak kasus, penguasa menciptakan musuh imajiner untuk menutupi ketidakadilan yang berlangsung di dalam negeri. Padahal, yang paling mendesak adalah memastikan hak-hak dasar warga terpenuhi,” kata dia.










