Jakarta, 27 Juni 2025 — Serangan rudal balistik Iran yang mampu menembus sistem pertahanan canggih Israel menjadi sorotan dunia, termasuk Indonesia. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Khairul Fahmi, menyatakan bahwa pertahanan udara Indonesia belum cukup kuat untuk menghadapi serangan skala besar seperti yang terjadi antara Iran dan Israel.
Fahmi menilai, serangan presisi jarak jauh dengan rudal balistik dan drone kamikaze seperti dilakukan Iran menggambarkan pentingnya sistem pertahanan udara berlapis dan terintegrasi secara real-time, yang saat ini belum dimiliki Indonesia.
“Sistem pertahanan udara kita masih terbatas, tersebar, dan belum terintegrasi penuh secara nasional,” ujar Fahmi.
NASAMS: Harapan Pertahanan Udara RI
Indonesia sendiri telah memiliki National Advanced Surface-to-Air Missile System (NASAMS) yang dibeli pada tahun 2017 dari Kongsberg Defence & Aerospace (Norwegia) dan Raytheon (AS), senilai USD 77 juta. Sistem ini menggantikan rudal SAM 75 yang sudah usang.
NASAMS mampu menangkal ancaman dari rudal jelajah, drone, hingga pesawat tempur, dan dilengkapi radar serta command post untuk mendeteksi dan mengeksekusi target. Pada 2021, Indonesia memperkuat NASAMS dengan membeli 200 rudal AIM-120C AMRAAM, meski daya jangkaunya masih lebih pendek dibanding varian AMRAAM-ER.
Namun menurut Fahmi, kekuatan NASAMS saja belum cukup, mengingat Indonesia belum memiliki sistem pertahanan udara multi-layer seperti Iron Dome, David’s Sling, atau Arrow milik Israel yang terbukti masih bisa ditembus.
Ia menyarankan agar pemerintah mempercepat penguatan sistem pertahanan udara nasional secara menyeluruh, baik dari sisi teknologi, integrasi, hingga sistem peringatan dini, untuk menghadapi potensi serangan udara modern.