Teknologi alat bantu jalan bagi penyandang disabilitas terus dikembangkan. Salah satunya oleh Kepala Pusat Riset Mekatronika Cerdas (PRMC) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanuandri Putrasari.
“Teknologi mekatronika cerdas terus berkembang pesat hingga mampu berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas,” kata Yanuandri dalam webinar PRMC bertajuk Riset Biomekatronika Terkait Gait Analysis untuk Pengembangan Alat Bantu Jalan bagi Penyandang Disabilitas di Jakarta, Kamis (22/5/2025).
Melansir laman Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mekatronika adalah paduan ilmu yang menggabungkan mekanika, elektronika, dan informatika, menciptakan suatu sintesis luar biasa antara dunia fisik dan digital.
Yanuandri menjelaskan, teknologi mekatronika cerdas merupakan teknologi multitasking mengingat relevansinya yang luas dan potensinya untuk dapat menjawab tantangan di berbagai aspek kehidupan.
“Namun, tantangan terbesar kita adalah bagaimana meningkatkan apresiasi dan pemanfaatan karya anak bangsa. Saya berharap lahir kolaborasi riset lintas sektor yang berdampak nyata bagi penyandang disabilitas dan mendorong terwujudnya alat bantu jalan yang inovatif, teknologi kesehatan yang inklusif dan berdaya saing sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia,” harapnya mengutip laman BRIN, Senin (26/5/2025).
Dalam kesempatan yang sama, Wahyu Dwi Lestari dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, menjelaskan bahwa integrasi gait analysis menjadi kunci dalam pengembangan prosthesis yang sesuai dengan kebutuhan individu penyandang disabilitas.
“Dari permasalahan yang kami temukan, ada tiga urgensi penelitian yang dapat diidentifikasi. Mulai dari perlu adanya prioritas penelitian dan pengembangan (R&D) untuk mengembangkan prosthesis yang adaptif dan menyerupai kaki manusia.”
“Lalu pentingnya kolaborasi multi stakeholder yang juga melibatkan klinisi, industri, dan pemerintah, hingga diperlukannya integrasi bersama gait analysis guna menghasilkan data kuantitatif untuk personalisasi prosthesis sesuai kebutuhan individu,” paparnya.
Tantangan Alat Bantu Jalan Disabilitas Saat Ini
Lebih lanjut, Wahyu menemukan keterbatasan desain tunggal, akses, biaya, dan validasi klinis yang menjadi tantangan utama dalam pemanfaatan alat bantu saat ini.
Untuk menjawab tantangan tersebut, ia bersama tim peneliti mengembangkan framework (Design-Think-Test) untuk merancang alat bantu jalan berdasarkan kebutuhan nyata pengguna.
Kolaborasi dengan PRMC BRIN dalam pengukuran gaya reaksi tanah menggunakan force plate menjadi langkah penting. Tujuannya, memperoleh data struktur kekuatan telapak kaki yang digunakan dalam simulasi prostesis atau alat buatan. Ini digunakan untuk menggantikan bagian tubuh yang dirancang guna membantu meningkatkan fungsi dan kualitas hidup seseorang setelah mengalami amputasi, kecelakaan, atau kondisi medis tertentu.
“Memperkuat kolaborasi lintas sektor menyempurnakan produk prostesis. Melalui integrasi dengan gait analysis, kita tidak hanya menciptakan alat bantu yang fungsional bagi penyandang disabilitas, tetapi juga turut membangun masa depan yang lebih inklusif dan cerah bagi masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
Ketergantungan Alat Bantu Impor Masih Tinggi
Sependapat dengan hal tersebut, Dimas Adiputra dari Telkom University Surabaya, mengungkapkan bahwa ketergantungan terhadap alat kesehatan impor, khususnya alat elektromedis, masih tinggi di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan dalam mewujudkan kemandirian alat kesehatan nasional.
“Ada anggapan penggunaan elektromedis akan mengalami kesulitan dalam edukasi dan pengenalan pada masyarakat di lingkungan rumah sakit. Hal ini menjadi pemicu utama tantangan terhadap kemandirian dan modernisasi alat kesehatan di Indonesia,” ungkapnya.
Dimas memperkenalkan Picobot sebagai inovasi alat bantu berjalan yang merupakan hasil riset bersama timnya. Picobot ini telah melalui fase pelatihan statis dan dinamis. Berdasarkan hasil motion capture, penggunaan Picobot terbukti membantu pasien dengan menunjukkan perbaikan signifikan pada kondisi foot drop pasien. Inovasi ini juga dilengkapi insole untuk pemantauan progres rehabilitasi secara real time. Picobot memberi harapan dan peluang yang sama untuk penyandang disabilitas.
“Semoga melalui riset yang kami lakukan, orang dengan berbagai latar belakang keterbatasan gerak dapat kembali melakukan pergerakan jalan,” harapnya.
Pentingnya Kolaborasi Riset Alat Bantu Penyandang Disabilitas
Sejalan dengan itu, periset PRMC BRIN, Annida Rahmawati, memberi dukungan terhadap riset ini. Ia menekankan pentingnya peningkatan dan pengembangan riset melalui kerja sama strategis antara BRIN, perguruan tinggi, industri, serta pemangku kepentingan lainnya perlu ditingkatkan.
Ia menuturkan bahwa penelitian ini berdampak besar bagi masyarakat terutama penyandang disabilitas dan pasien rehabilitasi.
Riset ini memberi kemudahan mengingat prostesis di Indonesia masih impor dan membutuhkan biayanya tinggi. Selain itu, beberapa prostesis meski dengan biaya terjangkau merupakan hasil pengrajin yang umumnya mengesampingkan aspek kenyamanan dan keamanan. Hasil riset ini juga akan memudahkan pengguna untuk menjalani fisioterapi mandiri dengan pengawasan, dan memudahkan tenaga kesehatan dalam melakukan fisioterapi.
Annida berharap para periset BRIN dapat berkolaborasi dengan periset lainnya dan memanfaatkan dukungan peralatan yang ada di laboratorium BRIN sebagai pengambilan data.
Terkait bagaimana pentingnya keterlibatan pihak-pihak yang memiliki otoritas, Yanuandri menyoroti untuk mengapresiasi dan mendukung terobosan-terobosan anak bangsa dalam dunia teknologi terutama pada aspek penting dunia kesehatan. Kolaborasi riset di bidang biomekatronika dan gait analysis diharapkan mampu menghadirkan teknologi alat bantu disabilitas yang adaptif, terjangkau, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
“Dengan semangat sinergi, BRIN terus mendorong hadirnya inovasi dan kolaborasi pemanfaatan teknologi biomekatronika yang berkontribusi untuk masyarakat Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045,“ tutupnya.