Jakarta – Dunia militer Indonesia kembali menjadi sorotan setelah keputusan mutasi sejumlah perwira tinggi (pati) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibatalkan hanya selang sehari setelah diterbitkan. Salah satu yang paling mencolok adalah batalnya mutasi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo, putra mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, dari jabatan strategis Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I) menjadi Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Keputusan ini memunculkan spekulasi luas mengenai potensi campur tangan politik, terutama dikaitkan dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang dinilai memiliki peran sentral dalam pembatalan tersebut.
Klarifikasi TNI: Tak Ada Pengaruh Politik
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, membantah tudingan adanya tekanan politik. Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut murni berdasarkan profesionalisme dan hasil sidang Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti). Ia juga menyebut mutasi tak terkait dengan posisi keluarga Letjen Kunto maupun keterlibatan Try Sutrisno dalam Forum Purnawirawan TNI-Polri.
“Mutasi ini tidak terkait dengan apa pun di luar organisasi TNI,” tegas Kristomei, Jumat (2/5/2025).
Pengamat: Prabowo Tunjukkan Otoritas
Namun, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menyebut pembatalan mutasi ini sebagai sinyal kuat Presiden Prabowo menunjukkan otoritasnya secara nyata. Ia menduga Prabowo tidak setuju dengan rencana pemindahan Letjen Kunto dan oleh karena itu mutasi pun dibatalkan.
“Prabowo menunjukkan dirinya sebagai presiden sesungguhnya. Ini bentuk ketegasan yang ditunggu rakyat,” kata Jamiluddin.
Spekulasi makin menguat karena perwira yang disiapkan untuk menggantikan Kunto adalah Laksamana Muda Hersan, mantan ajudan Presiden Joko Widodo—ayah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang tengah jadi sorotan karena desakan pemakzulan oleh Forum Purnawirawan.
DPR Ingatkan TNI Jaga Netralitas
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, turut mengkritik pembatalan ini. Menurutnya, perubahan mendadak dalam SK mutasi ini menimbulkan kesan bahwa TNI mudah dipengaruhi dinamika politik, yang pada akhirnya mencederai prinsip netralitas dan profesionalisme institusi militer.
“Ini preseden buruk. Mutasi seharusnya murni kebutuhan organisasi, bukan karena tekanan pribadi atau politik,” ujar Hasanuddin.
Ia juga menyayangkan gaya kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang dinilainya tidak konsisten, dan menyarankan adanya evaluasi terhadap kebijakan pimpinan militer saat ini.
Kasus ini membuka diskusi luas tentang relasi sipil-militer di era transisi pemerintahan dan seberapa jauh batas antara profesionalisme militer dan kepentingan politik. Masyarakat kini menanti apakah pernyataan netralitas TNI hanya sebatas formalitas, atau benar-benar menjadi prinsip yang dijaga di tengah dinamika kekuasaan yang kian menguat.