Setelah gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang Myanmar pada 28 Maret 2025, militer Myanmar (junta) mengumumkan gencatan senjata sementara untuk mendukung upaya kemanusiaan. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa mereka terus melakukan serangan militer, termasuk serangan udara dan artileri, bahkan di wilayah yang terdampak gempa.

Janji Gencatan Senjata yang Dilanggar
Meskipun junta mengumumkan gencatan senjata selama 20 hari mulai 2 April 2025, data menunjukkan bahwa mereka tetap melakukan operasi militer. Menurut data dari Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), setidaknya terjadi 172 serangan selama periode gencatan senjata, dengan 73 di antaranya terjadi di wilayah yang terdampak gempa. Serangan udara bahkan meningkat menjadi rata-rata 9,7 serangan per hari dibandingkan dengan 7,6 serangan per hari dalam enam bulan sebelumnya.
Dampak terhadap Bantuan Kemanusiaan
Tindakan militer yang terus berlanjut menghambat upaya bantuan kemanusiaan. Organisasi seperti PBB dan Palang Merah Internasional melaporkan bahwa kebutuhan mendesak seperti tempat tinggal, air bersih, layanan kesehatan, dan perlindungan masih belum terpenuhi. Selain itu, junta dituduh menahan bantuan dan mengganggu akses organisasi kemanusiaan ke wilayah terdampak.
Janji gencatan senjata oleh militer Myanmar setelah gempa bumi besar tampaknya lebih merupakan strategi politik daripada upaya nyata untuk menghentikan kekerasan dan mendukung pemulihan. Tindakan mereka yang terus melanjutkan serangan militer di tengah krisis kemanusiaan menunjukkan kurangnya komitmen terhadap perdamaian dan kesejahteraan rakyat Myanmar.