Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurfoiq menyampaikan akan langsung turun ke lapangan kejadian bencana banjir dan melihat tingkat kerusakan di kawasan Batang Toru, Kabuten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut).
Secara tegas dia mengatakan,harus ada yang bertanggung jawab atas terjadi nya kerusakan lingkungan terusbut yang menyebabkan banjir.
“Insyaallah hari kamis (4/12) besok saya akan langsung turun ke lapangan untuk melihat Batang Toru itu seperti apa kerusakannya. Harus ada yang bertanggung jawab atas kerusakan ini,” ujar Hanif dikutip dari Antara, Jumat (5/12/2025) dalam acara Peluncuran Dana Inovasi Teknologi dan Kajian Solusi Berketahanan Iklim
Hanif juga mengatakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, yang luasnya mencapai 230 ribu hektare, serta karakter landscape yang menarik berbentuk huruf V. Wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanulis Selatan yang posisi nya berada ditengah titik DAS seperti bentuk V.
“Kita dapat bayangkan apa yang terjadi kalau di lereng-lerengnya tidak ada lagi hutan yang menyangga kehidupan di Batang Toru tersebut. Dan ini lah yang terjadi,” ujar Hanif.
Hanif juga menambahkan area budi daya tanaman kering dan basah yang menjadi bagian hulu DAS Batang Toru, seharusnya itu berbentuk hutan disana. kapasitas hutan DAS hanya tersisa 38 persen dibagian hilir, sehingga tidak berpengaruh pada hujan turun di angka 300 milimeter (mm) pada tanggal 24-25 Oktober 2025.
Penyebab Kerusakan di Batang Toru
Hanif mengatakan, penyebabnya aktivitas pembukaan lahan yang berujuan untuk kegiatan pembangkit listrik tenaga air, hutan tanaman industri, juga perkebunan kelapa sawit, yang menyebabkan turun gelondongan kayu yang skala nya cukup besar.
Terjadi bencana hidrometeorologi yang akhirnya menyebabkan terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan juga Aceh.
Data yang dimiliki oleh Kementerian Lingkungan Hidup, curah hujan di Sumut mencapai 300-400 milimeter (mm) per harinya.
Dapat diartikan, detiap 1 meter persegi (m2) ADA 0,3-0,4 (mm) kubik air hujan yang turun sebelum terjadinya bencana alam tersebut, berarti memang sudah masuk kategori ekstrem.
Area rawan bencana termasuk juga di Sibolga dengan DAS yang tidak terlalu luas, tetapi area itu dikatakan area yang termausk curah hujannya itu lebih dari 300 mm di hari yang sama. Sehingga menyebabkan bencana tanah longsor dan jatuhnya puluhan korban.
Menurut Hanif curah hujan di Aceh juga mencapai 303 mm pada tanggal 24-25 Oktober lalu yang diartikan lebih besar dibandingkan Sumut, tetapi karena area nya luas maka pengaruh dari kerusakan itu tidak terlalu berat, tetapi mengakibatkan korban yang jumlahnya begitu besar.
Dengan 33 hektare, pada hari itu 9,7 miliar kubik air yang menerjang Aceh, sehingga menyebabkan juga provinsi tersebut runtuh.
Lansapo yang lebih pendek adalah Subar, tetapi korban jiwa yang disebabkan karena bencana hidromoteorologi cukup besar. bahkan curah hujan saat itu dari 300 mm hampir mendekati 400 mm.
“Kita masih sibuk melakukan langkah mitigasi, sementara di depan mata kita, bencana hidrometeorologi harus kita adaptasi dengan sangat serius,” kata Hanif.
Waktu Pemulihan yang dibutuhkan di Batang Toru
Menurut Hanif pemulihannya butuh 5-10 tahun untuk melalui Innovation and Technology Fund (ITD) yang merupakan mendanaan untuk mendukung implementasi pembangunan rendah karbon untuk di setiap provinsi.
Harapan dapat berperan dalam memperiapkan adaptasi iklim, terutama dalam bencana hidrometorologi.
“Hari ini dan seterusnya, sesuai ramalan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), maka curah hujan relatif tinggi akan tetap terus berdatangan. Mari kita segera rumuskan langkah-langkah adaptasi yang (membuat kita) tidak mengorbankan lagi orang-orang tak mampu, tak berdaya, di negara kita ini, karena keteledoran kita bersama,” jelas Hanif.










