Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengingatkan penjajahan saat ini melalui algoritma dan data, sehingga kolonialisme belum berakhir, hanya berganti wajah.
“Jika dulu penjajahan hadir dengan meriam dan kapal perang, maka kini ia datang melalui algoritma dan data,” ujar Megawati dalam seminar internasional 70 Tahun Konferensi Asia–Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu, seperti dikutip dari keterangan yang diterima di Jakarta.
Ia menegaskan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), big data, dan sistem keuangan digital lintas batas kini telah melahirkan bentuk baru dari imperialisme global.
Dia mengatakan bahwa negara-negara maju menjadi pemilik dan pengendali data, sedangkan negara berkembang hanya menjadi pengguna algoritma yang tidak mereka kuasai.
“Manusia direduksi menjadi angka, data menjadi komoditas,” ucap dia.
Sejumlah riset internasional, salah satunya UNCTAD Digital Economy Report 2024, pun mendukung gagasan Megawati tersebut, di mana menunjukkan 70 persen data dunia kini dikendalikan oleh segelintir raksasa teknologi global, seperti Google, Amazon, Meta, dan Microsoft, yang sebagian besar berbasis di Amerika Serikat dan Eropa.
Sementara itu, negara berkembang seperti Indonesia menjadi pasar sekaligus pemasok data tanpa kedaulatan penuh atas infrastrukturnya.
Laporan media menemukan sebagian besar layanan cloud dan basis data pemerintah masih bergantung pada penyedia asing, yang menimbulkan risiko kebocoran dan ketergantungan strategis.
Tantangan Era Digital bagi Bangsa dan Negara
Megawati menyebut tantangan digital tersebut bukan semata persoalan ekonomi, melainkan persoalan kemanusiaan dan kedaulatan bangsa. Tanpa pengendalian terhadap teknologi dan data, kemerdekaan sejati dinilai sulit tercapai.
“Dunia membutuhkan a new global ethics, yakni aturan moral global baru, untuk menata kembali kekuasaan dalam ranah teknologi, ekonomi, dan informasi,” ungkap Megawati.
Presiden ke-5 RI itu pun berpendapat Indonesia membutuhkan keberanian moral seperti yang pernah ditunjukkan Presiden pertama RI Soekarno alias Bung Karno, di mana dunia kini memerlukan regulasi baru agar teknologi tidak menjadi alat penindasan bentuk baru.
Dia juga mengingatkan nilai-nilai Pancasila dapat menjadi pedoman etik dunia digital. Pancasila, menurutnya, merupakan falsafah universal yang menyeimbangkan antara dunia material dan spiritual, antara hak individu dan tanggung jawab sosial, serta antara kedaulatan nasional dan solidaritas antarbangsa.
Kemajuan Teknologi dan Etika Kemanusiaan
Untuk itu, Megawati menegaskan kemajuan teknologi harus dibingkai dalam etika kemanusiaan. Disebutkan bahwa dunia seharusnya tidak diatur oleh algoritma tanpa hati nurani, tetapi oleh nilai-nilai Pancasila yang memuliakan kehidupan.
Dunia yang baru, sambung dia, bukan merupakan dunia yang tunduk pada mesin dan modal, melainkan dunia yang menempatkan manusia sebagai pusat peradaban.
Ia menautkan perjuangan dekolonisasi tahun 1955 dengan perjuangan menghadapi neokolonialisme digital abad ke-21.
“Dari Blitar ini, dari pusara Bung Karno, saya menyerukan kepada dunia, mari kita bangun dunia baru! Dunia yang tidak diatur oleh algoritma tanpa hati nurani,” ujar dia menegaskan.


