Mahfud MD dan Lahirnya “Oposisi Individual” dalam Krisis Demokrasi

Diposting pada

Beberapa waktu lalu, sahabat saya, Sukidi Mulyadi, mengirimkan sebuah tautan berita: “Mahfud MD Dorong RUU Kepresidenan Cegah ‘Abuse of Power'”. Tak lama berselang, seorang rekan lain mengirimkan tautan serupa: “Mahfud Sebut MK Larang Menteri-Wamen Rangkap Jabatan”. Dua berita yang tampaknya terpisah, tetapi saling melengkapi dalam menggambarkan posisi Mahfud MD hari ini.

Saya melihat Mahfud sebagai figur awal dari apa yang saya sebut sebagai “oposisi individual”—yakni oposisi yang tidak berasal dari struktur partai politik atau lembaga parlemen, tetapi dari legitimasi moral, pengalaman dalam pemerintahan, dan keberanian publik dalam melawan dominasi kekuasaan. Ini bukan oposisi konvensional, melainkan semacam “citizen whistleblower in democratic crisis” atau bahkan “symbolic counter-power”.

Secara substansial, gagasan Mahfud tentang perlunya RUU Kepresidenan mencerminkan kegalauan yang mendalam terhadap arah demokrasi dan hukum di Indonesia. Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud dengan gamblang menyuarakan keresahan akan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden, terlebih dalam situasi “lame duck period“—masa transisi kekuasaan yang rawan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok atau keluarga.

Sejak era Soekarno hingga kini, bangsa ini tak kunjung memiliki Undang-Undang Kepresidenan yang memadai. Padahal, aturan tersebut penting untuk membedakan posisi presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, panglima tertinggi, ketua partai, dan kepala keluarga. Tanpa pembeda yang jelas, konflik kepentingan terus menggejala.

Contoh paling nyata adalah praktik rangkap jabatan, khususnya menteri atau wakil menteri yang merangkap sebagai CEO atau komisaris di BUMN. Padahal, UU Kementerian Negara No. 39/2008, Pasal 23 secara tegas melarang hal itu. Demikian pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang juga melarang rangkap jabatan di lingkungan BUMN.

Namun, pertanyaannya: apakah aturan itu ditaati? Jawabannya jelas: tidak!

Beberapa pejabat tetap rangkap jabatan, duduk di kursi CEO perusahaan negara atau sebagai komisaris, dan dibiarkan begitu saja. Bahkan, beberapa nama mencolok yang menjabat wakil menteri juga menyandang status komisaris di BUMN strategis, seperti Danantara, tanpa ada tindakan korektif dari lembaga pengawas.

Dalam lanskap seperti inilah, Mahfud MD tampil sebagai suara yang—meski tunggal—lantang. Ia tidak sekadar mengkritik, tetapi menawarkan peta jalan perubahan hukum. Ia bukan oposan formal, tetapi bisa menjadi simbol perlawanan moral terhadap struktur kekuasaan yang kian mencengkeram.

Barangkali belum ada teori politik yang merumuskan konsep “oposisi individual”. Tapi dalam konteks Indonesia hari ini, Mahfud MD mungkin sedang menulis bab pertamanya.