Site icon Info Bet Gratis – Main Zeus Gacor

Kylian Mbappe dan Cerita Hidupnya Setelah Tinggalkan PSG

Kylian Mbappe menjadi sorotan besar setelah kepindahannya dari PSG ke Real Madrid pada musim panas 2024. Sang penyerang bergabung ke Santiago Bernabeu dengan status bebas transfer.

Kisah hidup dan perjalanan kariernya kembali diangkat dalam edisi khusus majalah L’Equipe. Dalam kesempatan itu, Mbappe juga berbicara mengenai ambisinya untuk meraih Ballon d’Or.

Namun, bukan hanya dirinya yang buka suara. Sang ibu sekaligus agennya, Fayza Lamari, turut berbagi cerita panjang mengenai perjalanan anaknya.

Lamari menyingkap masa kecil Mbappe hingga akhirnya menjadi bintang utama Real Madrid. Ia juga menceritakan suka duka keluarga di balik kesuksesan sang penyerang.

Perjalanan ke Real Madrid

Lamari mengingat momen ketika Mbappe meninggalkan PSG pada musim panas 2024. Saat itu, banyak pihak menilai PSG lebih dekat dengan gelar Liga Champions.

Namun, Mbappe tetap memilih Madrid meski harus memulai dari awal. Keputusan itu disebut Lamari sebagai titik balik besar dalam karier putranya.

“Mereka mengatakan PSG lebih dekat meraih Liga Champions, dan dia menjawab dengan mata polos: ‘Ya, saya tahu, tapi itu tidak masalah, saya mulai dari nol.’ Saat itu saya kembali menemukan Kylian yang dulu saya impikan di kamarnya,” ujar Lamari dilansir Diario AS.

“Ketika para fans bersorak atau mencemooh dia, di situlah kamu kehilangan anakmu. Dia menjadi milik semua orang, kecuali kamu. Pada level itu, tidak ada kehidupan di luar sepak bola,” tambah Lamari.

Idola Masa Kecil dan Inspirasi

Kecintaan Mbappe pada Real Madrid berawal sejak kecil. Zinedine Zidane dan Cristiano Ronaldo menjadi sosok penting yang menginspirasinya.

Menurut Lamari, putranya bahkan pernah menganggap dirinya orang Portugis hanya karena kagum pada Ronaldo. Ia mendukung Portugal semata-mata karena ada idolanya di sana.

“Itu bermula dengan Zidane ketika dia berusia empat tahun. Lalu Cristiano Ronaldo – baginya, dia adalah orang Portugis. Dia akan menonton pertandingan Portugal dan mendukung Ronaldo. Dia berkata: ‘Saya orang Portugis’,” ungkap Lamari.

“Pada usia 14, dia berkata kepada saya: ‘Ibu, dia menyentuh jaket saya. Saya tidak akan mencucinya lagi’,” kenang Lamari tentang pertemuan Mbappe dengan Zidane.

Tantangan Popularitas dan Kerendahan Hati

Lamari juga menyinggung soal konsekuensi ketenaran. Ia mengaku lebih bangga dengan sosok pribadi Mbappe dibanding statusnya sebagai pesepak bola.

Ia bahkan jujur mengakui bahwa putranya pernah menunjukkan sikap arogan. Namun, sebagai ibu, ia merasa perlu untuk selalu mengingatkan Mbappe agar tetap rendah hati.

“Saya tidak suka kata ‘ikon.’ Itu menakutkan saya. Orang-orang membicarakan ketenaran tetapi tidak tentang ekspektasi dan konsekuensinya. Saya lebih bangga dengan pria yang dia jadi, bukan pemainnya,” ujar Lamari.

“Tentu ada masa ketika dia arogan. Tapi sebagai ibu, kamu harus membawanya kembali ke bumi. Dia berhak merasa lelah kadang-kadang. Dia juga manusia,” tegas Lamari.

Hidup dalam Sorotan Publik

Lamari menceritakan bagaimana beratnya menyaksikan perjalanan cepat sang putra. Dari awal tampil di Liga Champions bersama Monaco hingga diterpa rumor media, semua itu menimbulkan tekanan besar.

Menurutnya, orang tua juga ikut menjadi korban dari sistem sepak bola modern. Mereka ikut merasakan beban besar di balik sorotan publik.

“Orang tua adalah korban dari sistem ini. Ketika anakmu terkenal, isolasi bukan yang membuatmu tertekan, melainkan penilaian publik,” ucap Lamari.

“Itu adalah momen tersulit bagi saya. Dia menangis, dan saya berkata: ‘Kita akan berjuang.’ Saat itu kamu menyadari betapa rapuh semuanya. Jika Kylian melakukan kesalahan di Swedia, saya sendiri yang akan membawanya ke polisi,” tutup Lamari.

Exit mobile version