Mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, kembali diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan rasuah pembagian kuota haji tambahan 2024, Selasa (16/12). Usai diperiksa lebih kurang 8 jam, pria karib disapa Gus Yaqut itu tak banyak berkomentar soal isi pemeriksaan.
“Tanyakan ke penyidik ya,” kata dia kepada awak media, Selasa (16/12/2025) malam.
Mengonfirmasi hal itu, Kuasa Hukum Mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut, Mellisa Anggaraini, menuturkan, kliennya menjelaskan soal pembagian kuota tambahan menjadi 50 haji khusus dan 50 haji reguler merupakan sebuah diskresi.
Menurutnya, diskresi tersebut terkait Pasal 9 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
“Kebijakan diskresi diambil Gus Yaqut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bukti utamanya adalah kerangka hukum yang memberikan ruang diskresi itu sendiri, antara lain: Pasal 9 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama untuk menetapkan kebijakan teknis penyelenggaraan haji,” ujar Mellisa kepada awak media, Rabu (17/12/2025).
Acuan Diskresi Peraturan Menteri Agama
Menurut Mellisa, acuan diskresi juga termuat dalam peraturan menteri agama (PMA) no 13 tahun 2021 yang mengatur mengenai kebijakan Menteri Agama dalam menetapkan kuota tambahan. Alasannya, kondisi faktual kuota tambahan yang datang secara mendadak dari Kerajaan Arab Saudi memerlukan keputusan cepat demi kemanfaatan jemaah.
“Perhitungan teknis kapasitas di Mina termasuk adanya kebijakan zonasi Mina oleh Saudi yang berdampak terhadap penempatan dan pembiayaan jamaah. MoU yang telah ditandatangani oleh saudi dan Indonesia tertanggal 8 Januari 2025,” jelas dia.
Karena itu, sambung Mellisa, kebijakan diskresi Menteri Agama menjadi tepat karena diskresi semata-mata untuk kepentingan jemaah.
“Diskresi tersebut dilakukan untuk kepentingan pelayanan dan keselamatan jemaah, bukan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok,” tegas dia.
Hormati KPK Libatkan Ahli
Perihal KPK yang hendak meminta pendapat ahli mengenai kebijakan diskresi, Mellisa mengaku menghormati langkah tersebut. Hal itu dinilai sesuai dengan koridor dan tugas KPK mengonfirmasi kebenaran sebagai penegak hukum.
Namun demikian, Mellisa menuturkan, berdasarkan sejumlah ahli yang sudah dimintai pandangan, seperti Dr Oce Madril dan Dr Rudy Lukman, kedianya berpendapat bahwa Pasal 9 UU 8/2019 memang memberikan ruang diskresi kepada Menteri.
“Berbagai Ahli hukum sebelumnya juga sudah pernah memberikan pandangan terkait diskresi menteri agama dalam pembagian kuota. Diskresi tersebut bukan perbuatan melawan hukum, sepanjang dilakukan untuk kepentingan umum,” Mellisa menandasi.
Diketahui, kasus ini bermula dari pembagian kuota haji tambahan yang tidak sesuai aturan Undang-Undang. Seharusnya, pembagian kuota haji terbagi atas 92% untuk hajireguler dan 8% untuk haji khusus.
Namun pada penyelenggaraan haji 2024, Kementerian Agama Republik Indonesia melakukan diskresi pada pembagian kuota haji tambahan sebesar 20.000 yang diberikan pemerintah kerjaan Saudi, menjadi 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk khusus atau 50%-50%.
Dengan pembagian porsi tak sesuai aturan memunculkan dugaan permainan jual-beli kuota haji khusus dari Kementerian Agama kepada sejumlah biro travel haji-umroh dengan motif bisa berangkat di tahun yang sama tanpa antrean. Syaratnya dengan membayarkan uang ‘pelicin’ demi mendapatkan kuota tersebut.










