Jakarta, 30 Juli 2025 — Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat Indonesia. Presiden KSPI Said Iqbal menyebut, BPS masih menggunakan metodologi yang dianggap usang dan tidak sesuai dengan status Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle-income country).
Menurut Said, BPS memakai ambang batas penghasilan sekitar USD 2,5 PPP per hari, sehingga menghasilkan angka kemiskinan sebesar 8,47% atau sekitar 23,85 juta orang pada Maret 2025. Padahal, standar internasional untuk negara seperti Indonesia seharusnya menggunakan batas USD 5–6,5 PPP per hari, yang jika diterapkan, jumlah penduduk miskin bisa mencapai 68 hingga 190 juta orang, atau hingga 68% dari total populasi.
“Data BPS yang bias ini menunjukkan kesenjangan yang semakin lebar: orang kaya makin kaya, sementara kelompok buruh yang rentan semakin terpuruk saat mengalami PHK,” ujar Said.
Sementara itu, BPS mencatat tren penurunan angka kemiskinan nasional sejak Maret 2023. Dibandingkan September 2024, angka kemiskinan turun 0,1 persen poin, atau sekitar 0,2 juta orang, menjadi 8,47% pada Maret 2025. Namun, BPS juga mencatat kenaikan kemiskinan di wilayah perkotaan, naik sebesar 0,07 persen poin, sehingga memerlukan penyesuaian strategi pengentasan kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah.
Deputi Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menekankan pentingnya perhatian terhadap kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin, meskipun secara nasional tren penurunan terus berlanjut.