Pada tahun 2025, dunia menghadapi krisis energi besar yang dipicu oleh beberapa faktor: ketegangan geopolitik, gangguan pasokan bahan bakar fosil, dan dampak perubahan iklim. Konflik di wilayah-wilayah strategis seperti Timur Tengah dan ketegangan antara negara-negara penghasil energi memperburuk kelangkaan minyak dan gas. Di Eropa, lonjakan harga energi menyebabkan tekanan ekonomi yang luas, memaksa negara-negara untuk mencari alternatif.

Sebagai respons terhadap krisis ini, negara-negara maju dan berkembang mempercepat peralihan ke sumber energi terbarukan. Investasi besar-besaran diarahkan ke proyek tenaga surya, angin, hidro, dan bahkan teknologi baru seperti hidrogen hijau dan fusi nuklir eksperimental. Beberapa pencapaian penting pada tahun ini antara lain:
- Uni Eropa mengumumkan target baru untuk mencapai 70% energi terbarukan pada 2030.
- China mempercepat pembangunan “kota hijau” berbasis tenaga surya di wilayah baratnya.
- Amerika Serikat meluncurkan proyek “Green Grid” nasional untuk mendukung distribusi energi bersih lintas negara bagian.
Selain itu, banyak perusahaan energi besar seperti Shell, BP, dan ExxonMobil semakin mengalihkan investasi mereka dari minyak bumi ke teknologi energi bersih. Krisis ini juga mempercepat adopsi kendaraan listrik (EV), panel surya rumah tangga, dan infrastruktur energi pintar.
Namun, pergeseran ini tidak berjalan tanpa tantangan: harga panel surya dan baterai sempat melonjak akibat permintaan tinggi, dan banyak negara berkembang menghadapi kesulitan mendanai transisi energi mereka.
Secara keseluruhan, tahun 2025 menjadi momentum bersejarah dalam mempercepat perubahan paradigma energi dunia dari ketergantungan pada bahan bakar fosil menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.