Kisah Pengungsi Suriah Bangun Kembali Rumah yang Hancur dari Puing

Diposting pada

Damaskus – Ribuan keluarga, yang hidup dalam kondisi mengerikan, telah bertahan hidup di kamp-kamp pengungsi di Suriah utara, dekat perbatasan Turki, selama bertahun-tahun. Mereka tidur di tenda-tenda lusuh yang tidak melindungi mereka dari panasnya udara musim panas maupun dinginnya udara musim dingin.

Tergulingnya diktator Suriah Bashar Assad setelah 14 tahun perang saudara pada bulan Desember lalu merupakan pertanda yang menggembirakan bagi keluarga-keluarga di kamp. Mereka berharap untuk meninggalkan daerah yang dikuasai kelompok pemberontak anti-Assad dan kembali ke rumah mereka di kawasan lain di Suriah. Namun ternyata, di sana banyak rumah dan infrastruktur di sekitarnya yang hancur.

Laporan DW Indonesia yang dikutip Jumat (30/5/2025) menyebut kini mereka yang telah kembali ke kampung halamannya menghadapi berbagai tantangan, terutama dari segi keuangan. Setelah bertahun-tahun mengungsi, keluarga-keluarga itu menghadapi masalah ekonomi yang serius.

Semuanya di Sini Hancur

“Kami mungkin kehilangan rumah, tetapi kami tidak kehilangan keinginan bertahan hidup,” kata Nadima al-Barakat, 36 tahun, kepada DW.

Dia kembali ke desanya di Suriah selatan dan berakhir tinggal di tenda di atas reruntuhan rumahnya yang hancur. “Semuanya di sini hancur,” katanya. “Harta milik kami hancur, rumah kami dan kenangan kami juga.”

Dia mengatakan mereka baru mengetahui rumah mereka telah hancur setelah mereka kembali. “Kami tidak punya uang untuk membangun kembali,” lanjutnya. “Suami saya terbunuh dalam serangan udara empat tahun lalu.”Pembangunan kembaliakan menelan biaya sekitar 5.000 dolar AS, tambahnya.

Beberapa rumah dan toko di daerah tempat tinggal al-Barakat hancur terbakar, sementara yang lainnya hancur menjadi puing-puing dan dijarah oleh milisi rezim Assad. Ada banyak hal yang perlu dibangun kembali, sebelum orang bisa kembali ke sini dan menjalani kehidupan normal: jaringan listrik, pasokan air, sekolah, dan toko roti.

Saat ini, semua itu belum ada. Tidak ada fasilitas sanitasi, tidak ada pasokan listrik dan tidak ada layanan medis yang memadai. Tidak ada privasi di tenda, dan risiko kebakaran cukup tinggi.

Membangun Kembali, Bata Demi Bata

Raed al-Hassan, pria berusia 39 tahun, sedang membangun kembali rumah keluarganya yang hancur, bata demi bata. Dia mengatakan kepada DW, dia dan keluarganya yang beranggotakan enam orang telah meninggalkan kamp pengungsi di dekat perbatasan Turki untuk kembali ke kampung halaman mereka, Maarat Dibsah, di provinsi Idlib.

Dia mengumpulkan puing-puing dari reruntuhan rumahnya dan dengan alat sederhana membangun kembali dinding sepotong demi sepotong. Raed al-Hassan bahkan menggunakan kembali batang-batang besi dari langit-langit yang runtuh. Bahan-bahannya memang tidak sempurna, tetapi “kami tidak punya pilihan lain,” katana. Rekonstruksi dengan cara ini akan memakan waktu lama, jelasnya, padahal “kita memerlukan solusi cepat.”

Mohammed al-Raslan, 45 tahun, juga baru kembali dari pengungsian. Dia ingin membangun kembali rumahnya yang hancur, tapi harga bahan bangunan masih terlalu tinggi. Jadi dia hanya melakukan perbaikan darurat seperlunya. Yang penting keluarganya memiliki atap di atas kepala mereka.

“Ketika saya kembali ke Kfar Nabudah [barat laut Hama] bersama istri dan empat anak saya, saya mendapati bahwa yang tersisa dari rumah saya hanyalah tembok bobrok tanpa atap,” kata al-Raslan kepada DW.

Pertama-tama, katanya, dia menutupi rumah itu dengan terpal dan menutup jendela dengan potongan-potongan beton. “Kami warga Suriah terbiasa beradaptasi dengan kondisi yang paling sulit,” katanya. Meski kondisi rumahnya buruk, kehidupan di sini masih lebih baik daripada di kamp pengungsi, tegasnya. “Di sana kebersihan kurang, dan penyakit menyebar luas.”

Al-Raslan mengatakan, para pengungsi yang kembali harus menghadapi banyak masalah. Ini termasuk harga air yang tinggi dan kurangnya layanan dasar, terutama di sektor kesehatan. Semua rumah sakit atau klinik terdekat telah dibom atau dijarah, katanya, seraya menambahkan bahwa yang paling parah  adalah bahwa sekolah-sekolah juga telah hancur dan tidak dapat lagi menampung siswa.