Kenaikan UMP 2026, Beda Angka Keinginan Buruh dan Pengusaha

Diposting pada

Pembahasan mengenai penetapan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2026 mulai memanas dengan munculnya dua pandangan kontras antara kelompok buruh dan pelaku industri. Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) mendesak adanya kenaikan UMP 2026 sebesar 15 hingga 20 persen, dengan alasan mendesaknya kebutuhan pemulihan daya beli pekerja akibat inflasi dan lonjakan harga kebutuhan pokok yang terjadi pasca pandemi.

Di sisi lain, tuntutan kenaikan signifikan tersebut ditanggapi hati-hati oleh Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) yang menekankan pentingnya faktor produktivitas dan efisiensi dalam penentuan UMP 2026. Para pengusaha mengingatkan bahwa kebijakan upah tidak boleh sekadar mengikuti tekanan, melainkan harus menjaga keseimbangan agar industri padat karya tetap berdaya saing dan mampu mempertahankan keberlanjutan lapangan kerja.

Kelompok buruh mengusulkan upah minimum provinsi atau UMP naik hingga 20% pada 2026. Tingkat inflasi hingga daya beli masyarakat yang terpengaruh disebut jadi beberapa pertimbangannya.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat mengatakan, dalam hitungannya UMP 2026 perlu naik 15%-20%. Besaran UMP menurutnya menjadi penting untuk menjadi penopang hidup pekerja.

“Upah minimum harus mengangkat martabat pekerja dan keluarganya, bukan sekadar membuat mereka bertahan hidup,” kata Mirah, saat dihubungi Liputan6.com, dikutip Jumat (21/11/2025).

Jaring Pengaman Pekerja

Ada beberapa poin yang jadi pertimbangan. Diantaranya mengenai inflasi dan kenaikan harga pangan pokok, terutama pasca penyesuaian tarif energi dan kebutuhan dasar. Lalu, produktivitas pekerja di berbagai sektor meningkat, tetapi belum tercermin dalam peningkatan kesejahteraan.

“Daya beli pekerja terus turun sejak pandemi, sehingga kenaikan UMP harus menjadi alat pemulihan, bukan hanya penyesuaian. Buruh yang bekerja menanggung biaya hidup keluarga, bukan hidup sendiri,” tuturnya.

Mirah turut menegaskan UMP bukan batas akhir, namun jaring pengaman agar pekerja tidak jatuh dalam kemiskinan. “Kami berharap keputusan UMP 2026 tidak hanya melihat kemampuan usaha, tetapi juga kebutuhan hidup pekerja. Negara hadir bukan untuk memilih salah satu, tetapi menyeimbangkan keduanya demi keadilan sosial,” tandasnya.

Harus Sejalan dengan Produktivitas dan Efisiensi

Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menegaskan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 harus memperhatikan faktor produktivitas dan efisiensi agar industri tetap berdaya saing.

“Prinsipnya upah minimum harus di gap dengan produktivitas dan efisiensi,” kata Anne saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Menurut dia, penyesuaian upah bukan sekadar simbol gengsi atau tekanan serikat pekerja, melainkan kebijakan strategis yang menentukan keberlanjutan sektor industri padat karya.

“Tapi upah minimum harus memperhatikan itu, bukan hanya gengsi satu dua serikat, tapi lebih ke arah lapangan kerja berapa banyak yang akan dibentuk dengan adanya penambahan upah minimum,” ujarnya.

Anne menjelaskan, keberlanjutan (sustainability) lapangan kerja sangat bergantung pada keseimbangan antara kenaikan upah dan kemampuan industri untuk bertahan. Bila kenaikan upah terlalu tinggi tanpa dukungan peningkatan efisiensi, maka perusahaan bisa tertekan dan sulit melakukan ekspansi usaha.

Belajar dari Dampak Kenaikan Upah Tahun Lalu

Anne menyoroti pengalaman tahun lalu ketika kenaikan UMP dipaksakan hingga 6,5 persen di beberapa daerah. Alih-alih membuka lapangan kerja baru, kebijakan itu justru menekan pelaku industri.

Ia mengingatkan agar penentuan UMP tahun 2026 tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kenaikan upah, menurutnya, harus didasarkan pada analisis data, kondisi ekonomi, dan kemampuan industri, bukan pada ego sektoral.