Site icon Info Bet Gratis – Main Zeus Gacor

Kemarau Basah Tingkatkan Potensi Kenaikan Kasus COVID-19 di Indonesia

Kemarau basah yang tengah terjadi di Indonesia dapat meningkatkan potensi kenaikan kasus COVID-19.

“BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) sebut saat ini Indonesia sedang kemarau basah sebetulnya kemarau basah itu menyebabkan kelembapan tinggi yang tentu dapat meningkatkan stabilitas virus di udara atau di permukaan,” kata epidemiolog Dicky Budiman.

Potensi masyarakat tertular COVID-19 juga meningkat di masa kemarau basah lantaran adanya perubahan suhu ekstrem yang memengaruhi imunitas.

“Perubahan suhu ekstrem antara siang dan malam juga dapat melemahkan daya tahan tubuh,” tambah Dicky.

Kondisi cuaca seperti ini, sambungnya, akan mendorong masyarakat untuk beraktivitas atau berkumpul di dalam ruangan tertutup terutama saat hujan.

“Ini juga meningkatkan transmisi virus. Namun, itu semua bisa diminimalisir dengan personal hygiene, pakai masker, membuka ventilasi,” terangnya.

Melansir laman resmi BMKG, kemarau basah adalah kondisi ketika hujan masih turun secara berkala pada musim kemarau, atau disebut juga sebagai kemarau yang bersifat di atas normal. Biasanya, musim kemarau di Indonesia identik dengan cuaca panas dan minim hujan. Namun, dalam kemarau basah, intensitas hujan masih tergolong tinggi meski frekuensinya menurun.

Apa Penyebab Kemarau Basah?

Menurut BMKG, kemarau basah dipicu oleh dinamika atmosfer regional dan global, seperti suhu muka laut yang hangat, angin monsun aktif, serta La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif. Dampaknya, hujan tetap turun meski sudah masuk musim kemarau.

BMKG menyatakan La Nina sedang menuju fase netral. La Nina sendiri adalah fenomena pendinginan suhu laut di Pasifik tengah yang bisa meningkatkan curah hujan di Indonesia, khususnya di wilayah dengan perairan hangat.

Musim kemarau tahun ini diperkirakan datang normal atau sedikit lebih lambat di 409 Zona Musim (ZOM), dengan curah hujan sebagian besar masih dalam kategori normal. Publikasi Klima Edisi VI 2022 juga menyebut La Nina dapat memicu anomali cuaca, termasuk terjadinya kemarau basah di Indonesia.

Apa Dampak Kemarau Basah?

Kemarau basah membawa dampak ganda. Di satu sisi, pasokan air meningkat sehingga mendukung sektor perairan. Namun, bagi pertanian, kondisi ini bisa merugikan. Lahan menjadi terlalu lembap, menyebabkan gagal panen pada komoditas seperti jagung, kacang kacangan, dan kedelai.

Hama dan penyakit juga lebih mudah berkembang dalam kondisi lembap. Perubahan pola hujan yang tidak sesuai dengan perkiraan membuat petani kesulitan merencanakan aktivitasnya. Hal ini mencerminkan dampak nyata dari perubahan iklim global, yang menantang pola lama dalam mengelola musim.

Untuk mengurangi risikonya, diperlukan pemantauan rutin atmosfer dan suhu laut, serta penyampaian informasi iklim yang akurat dan mudah diakses masyarakat.

Sampai Kapan Kemarau Basah Berlangsung?

BMKG menyebutkan bahwa sebagian wilayah Indonesia saat ini mengalami kemarau basah, yaitu kondisi hujan masih turun meski telah memasuki musim kemarau.

Fenomena ini diperkirakan berlangsung hingga Agustus 2025, diikuti masa transisi (pancaroba) pada September–November, dan musim hujan mulai Desember 2025 hingga Februari 2026.

Sebanyak 403 Zona Musim (ZOM) atau 57,7 persen wilayah diprediksi mulai kemarau pada April–Juni 2025, dengan Nusa Tenggara mengalami kemarau lebih awal. Secara umum, awal musim kemarau 2025 tergolong normal hingga lebih lambat dibanding rata-rata, mencakup 409 ZOM (59 persen).

Akumulasi curah hujan selama musim kemarau diperkirakan normal di sebagian besar wilayah. Puncak kemarau diprediksi terjadi pada Agustus 2025, dengan waktu puncak yang cenderung sama atau lebih awal dari biasanya. Sementara itu, durasi musim kemarau 2025 diprediksi lebih pendek dari normal di 298 ZOM (43 persen).

Exit mobile version