Kasus Korupsi PLTU 1 Kalbar, Polri Jadwalkan Pemeriksaan Halim Kalla dan Eks Dirut PLN Fahmi Mochtar

Diposting pada

Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri menjadwalkan pemeriksaan terhadap Presiden Direktur PT BRN Halim Kalla pada Rabu, 12 November 2025, terkait penyidikan kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar).

“Hari Rabu, tanggal 12 November 2025 tersangka HK (diperiksa),” tutur Direktur Penindakan Kortas Tipidkor Polri Brigjen Totok Suharyanto kepada wartawan, Jumat (7/11/2025).

Selain Halim Kalla, penyidik juga memanggil mantan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar (FM) dan Direktur PT Praba Indopersada Hartanto Yohanes Lim pada Selasa, 11 November 2025. Sementara Direktur PT BRN berinisial RR dijadwalkan diperiksa bersamaan dengan Halim Kalla pada Rabu, 12 November 2025.

“Belum ada (konfirmasi hadir),” kata Totok menambahkan.

Kasus dugaan korupsi ini telah menetapkan tiga tersangka utama, yakni Fahmi Mochtar, Halim Kalla, dan RR, selaku Direktur PT BRN. Ketiganya diduga terlibat dalam penyimpangan proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar yang berujung pada kerugian negara ratusan miliar rupiah.

“Kemarin, 3 Oktober, kita tetapkan tersangka melalui mekanisme gelar terhadap tersangka FM (Fahmi Mochtar), yang bersangkutan dia sebagai Direktur PLN saat itu,” kata Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono kepada wartawan, Senin (6/10/2025).

“Dari pihak swasta ada HK (Halim Kalla), tersangka RR, dan juga pihak lainnya. Kalau nanti di proses penyidikan akan berkembang,” sambungnya.

Mangkrak Sejak 2008, Negara Rugi Rp323 Miliar dan USD 64 Juta

Irjen Cahyono menjelaskan bahwa sejak awal perencanaan, proyek PLTU 1 Kalbar telah diwarnai korespondensi dan kesepakatan tidak sehat untuk memenangkan pihak tertentu dalam pelaksanaan pekerjaan.

“Sejak awal perencanaan proyek sudah terjadi korespondensi. Artinya ada pemufakatan dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan,” ujarnya.

Setelah kontrak ditandatangani, lanjut Cahyono, terjadi berbagai pengaturan yang menyebabkan proyek mangkrak sejak tahun 2008 hingga 2018.

“Setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan. Sehingga ini terjadi keterlambatan yang akibatkan sampai dengan 2018, itu sejak tahun 2008–2018 dianggurin terus,” katanya.

Akibat penyimpangan tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian keuangan negara sebesar USD 64.410.523 dan Rp323.199.898.518.

“Karena output-nya tidak berhasil, maka dalam konteks kerugian uang negara adalah total loss,” tegas Cahyono.

Lalui Proses Lelang pada 2018

Dugaan korupsi ini berfokus pada proyek PLTU 1 Kalimantan Barat berkapasitas 2×50 Mega Watt, yang berlokasi di Kecamatan Jungkat, Kalbar. Proyek tersebut telah melalui proses lelang pada 2018 dan dimenangkan oleh Konsorsium KSO BRN, dengan persetujuan langsung dari Direktur Utama PLN saat itu.

Namun, hasil penyelidikan menunjukkan bahwa KSO BRN tidak memenuhi syarat prakualifikasi dan evaluasi penawaran. Salah satu pelanggaran utama adalah ketidakmampuan KSO BRN menunjukkan pengalaman membangun PLTU berkapasitas minimal 25 MW, yang akhirnya membuat mereka harus melakukan subkontrak pekerjaan.

Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.