Ada masa di mana mimpi untuk sekolah terasa kayak mimpi di siang bolong. Anak-anak harus jalan puluhan kilometer cuma buat duduk di bangku sekolah. Ada yang belajar di ruang seadanya, kadang tanpa listrik, tapi matanya masih menyala untuk sebuah harapan. Kisah kayak Denias atau Laskar Pelangi mungkin dulu kita pikir cuma ada di film. Padahal di luar sana, masih banyak “Denias” dan “Ikal” lain yang beneran hidup berjuang supaya mimpi mereka nggak berhenti di tengah jalan.
Ketika Mimpi Harus Berhenti di Tengah Jalan
Buat banyak anak muda di pelosok, tamat SMA sering berarti tamat juga kesempatan kuliah. Bukan karena nggak mau belajar, tapi karena jarak dan biaya terasa kayak tembok tinggi yang nggak bisa ditembus. Di kota, kuliah jadi hal biasa. Tapi di desa, kadang cuma jadi cerita. Data masih bilang, cuma tiga dari sepuluh anak muda Indonesia yang bisa lanjut ke kampus. Padahal, mereka punya semangat yang sama cuma beda akses aja. Dan kalau sistemnya nggak berubah, potensi mereka bisa hilang sebelum sempat bersinar.
Tapi Dunia Nggak Diam di Tempat
Tak banyak orang tau kalau sekarang teknologi digital udah bikin batas-batas itu jadi samar. Sekolah nggak harus di gedung tinggi, kuliah nggak harus di kota besar. Belajar bisa dari mana aja dari layar ponsel, dari rumah, bahkan dari warung kecil di pinggir desa. Di saat peluang baru mulai terbuka, banyak yang mulai sadar: mungkin pendidikan memang harus beradaptasi dengan hidup, bukan sebaliknya.
Lalu Datang Cara Baru untuk Tetap Belajar
Bukan semua orang bisa datang ke kampus setiap hari, tapi bukan berarti mereka harus berhenti bermimpi. Dan di titik itu, lahir cara belajar yang nggak lagi mengikat waktu dan tempat sistem yang fleksibel, terbuka, dan bisa ngikutin ritme hidup siapa pun.
Salah satu yang udah lama melakukan hal itu adalah Universitas Terbuka (UT) perguruan tinggi negeri digital pertama di Indonesia. Sejak 1984, UT udah jadi pelopor pendidikan jarak jauh yang bisa menjangkau siapa pun, di mana pun. Dari mahasiswa yang kerja di kota besar, sampai guru di daerah 3T, semuanya bisa kuliah dengan ritmenya sendiri.
Semua prosesnya dari pendaftaran, kuliah, sampai ujian bisa dilakukan secara daring. Fleksibel, tapi tetap serius soal mutu. Ijazahnya diakui nasional dan internasional, karena UT memang dibangun dengan standar yang sama seperti kampus negeri lainnya hanya beda cara belajar.
Kampus yang Bisa Kamu Bawa di Saku
UT sekarang udah benar-benar jadi kampus yang bisa “ikut” ke mana pun kamu pergi. Lewat sistem digital dan jaringan belajar yang tersebar di seluruh Indonesia, mahasiswa tetap bisa terhubung lewat platform kuliah pendidikan jarak jauh atau kuliah online. Bayangin aja, ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru negeri bisa belajar bareng tanpa harus ketemu langsung, tapi tetap nyala dengan semangat yang sama.
Dan karena biayanya yang murah, kuliah nggak lagi jadi pilihan mahal. UT bikin pendidikan tinggi nggak cuma jadi mimpi, tapi nyata untuk semua orang—termasuk mereka yang dulu cuma bisa bermimpi suatu hari bisa kuliah.
Karena Masa Depan Nggak Cuma Punya Kota Besar
UT buktiin bahwa mimpi anak-anak dari pelosok pun bisa sampai jauh. Kampus ini bukan cuma tempat belajar, tapi jembatan buat mereka yang nggak mau nyerah sama keadaan. Yang pengin tetap berkontribusi buat desanya, tanpa harus ninggalin tanah kelahirannya.
Karena sejatinya, masa depan Indonesia nggak dibangun dari gedung tinggi, tapi dari mimpi kecil yang berani tumbuh di tempat yang jauh dari sorotan. Dan lewat sistem terbuka, digital, dan fleksibel, Universitas Terbuka terus nyalain harapan baru bahwa pendidikan tinggi bukan hak istimewa, tapi hak semua orang yang mau berjuang.
“Yang terpenting bukan seberapa besar mimpi kalian, tapi seberapa kuat tekad kalian mau berjuang buat mewujudkannya.” Sang Pemimpi.

