Jurus Serok Cuan di Tengah Gejolak Perang Dagang

Diposting pada

Ketegangan geopolitik antara negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, kembali memanas akibat rencana tarif impor yang hampir diberlakukan.

Salah satu pemicunya adalah rencana AS menaikkan tarif hingga 50% atas berbagai barang asal Eropa, yang meskipun akhirnya ditunda, tetap memunculkan ketidakpastian di pasar keuangan global. Sentimen negatif ini merambat cepat ke berbagai sektor.

Tidak berhenti di situ, kenaikan nyata pada tarif baja dan aluminium langsung menekan indeks saham global. Sektor manufaktur dan ekspor-import menjadi yang paling terdampak, mendorong investor melakukan aksi jual besar-besaran. Lonjakan volatilitas pun tidak terhindarkan, memicu gelombang kekhawatiran di seluruh bursa saham dunia.

“Dalam kondisi seperti ini, investor global biasanya akan mencari instrumen yang relatif lebih aman dan stabil. Perang dagang sering menjadi titik balik bagi alokasi aset global karena dapat mengubah arah modal secara drastis,” ulas ujar tim riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia, dikutip Sabtu (7/6/2025).

Krisis Fiskal AS Menambah Beban Global

Di tengah eskalasi perang dagang, pasar keuangan juga diguncang oleh rencana anggaran jangka panjang AS yang dinilai terlalu agresif. Proyeksi defisit hingga USD 3 triliun dalam dekade mendatang memicu ketidakpercayaan terhadap manajemen fiskal Negeri Paman Sam. Akibatnya, obligasi pemerintah AS mengalami lonjakan yield, mencerminkan risiko yang lebih tinggi.

Imbal Hasil Obligasi

Yield obligasi tenor 10 tahun dan 30 tahun sempat menyentuh masing-masing 4,6% dan 5%. Ini bukan hanya menjadi sinyal kekhawatiran dalam negeri AS, tapi juga memicu pelepasan aset berisiko oleh investor global. Mereka mulai merelokasi dana dari saham ke obligasi dan emas sebagai upaya lindung nilai.

“Ketika imbal hasil obligasi naik pesat, itu menandakan bahwa investor menuntut kompensasi lebih tinggi atas risiko fiskal… Dan dalam sejarah pasar modal, lonjakan yield seperti ini sering menjadi pertanda guncangan lebih besar,” jelas Mirae Asset Sekuritas Indonesia.

Emas Jadi Favorit di Tengah Ketidakpastian

Dengan meningkatnya ketegangan global dan memburuknya kondisi fiskal AS, emas kembali menjadi primadona. Harga emas internasional melonjak hingga USD 3.350 per ons, atau naik lebih dari 1,8% dalam waktu singkat. Fenomena ini mencerminkan peralihan besar-besaran dana ke aset safe haven.

Di pasar domestik, harga emas juga menanjak tajam ke level Rp1,8 juta per gram, dari sebelumnya Rp1,79 juta. Permintaan yang terus meningkat tidak hanya datang dari individu, tetapi juga lembaga besar seperti bank sentral berbagai negara yang memperkuat cadangan emas mereka sebagai bentuk proteksi jangka panjang.

“Emas kini tidak hanya menjadi pelindung nilai, tetapi juga simbol stabilitas di tengah gejolak pasar… Pergerakan harga emas merupakan indikator penting bagi sentimen global terhadap risiko,” tulis Mirae Asset Sekuritas Indonesia.

Strategi Investasi Cerdas saat Perang Dagang

Untuk menghadapi kondisi seperti ini, investor disarankan menerapkan strategi diversifikasi. Kombinasi saham, obligasi, dan emas dalam satu portofolio dapat membantu menstabilkan nilai investasi.

Saat satu aset jatuh, aset lainnya bisa menahan kerugian tersebut. Ini adalah prinsip dasar dalam pengelolaan risiko. Strategi Dollar Cost Averaging (DCA) juga sangat efektif diterapkan, terutama di tengah volatilitas tinggi. Dengan membeli emas atau saham secara berkala dalam jumlah tetap, investor dapat meminimalkan risiko beli di harga puncak.

Apalagi, jika harga emas benar-benar menembus Rp2,1 juta per gram seperti yang diproyeksikan banyak analis.

“Penting untuk menyesuaikan porsi aset dengan profil risiko masing-masing. Investor konservatif bisa meningkatkan porsi emas hingga 20%, sementara investor agresif tetap bisa fokus ke saham tapi wajib punya emas sebagai pelindung portofolio,” pungkas Mirae Asset Sekuritas Indonesia.