Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh pada tanggal 10 November 2025 bertepatan dengan Hari Pahlawan, di Istana Negara, Jakarta. Salah satu tokoh yang diberi gelar pahlawan adalah Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo.
Pengumuman ini dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Sarwo Edhi merupakan salah satu tokoh militer paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia modern. Dia merupakan mertua dari Presiden ke-6 RI Soesilo Bambang Yudhoyono dan kakek dari Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Sarwo Edhi lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1925. Dia meninggal di Jakarta pada 9 November 1989 umur 62 tahun. Sarwo Edhie tumbuh di tengah situasi perjuangan kemerdekaan yang membentuk watak tegas dan disiplin.
Ketika Jepang menguasai Indonesia pada 1942, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftar sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA). Setelah Indonesia merdeka, Sarwo Edhie bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal dari ABRI.
Setelah itu, Sarwo Edhie diangkat menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro pada 1945—1951). Dia kemudian ditunjuk sebagai Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951—1953).
Karir berikutnya, Sarwo Edhie ditunjuk menjadi Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional pada 1959—1961. Selajutnya, Sarwo Edhie ditunjuk menjadi Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) Pada 1962 hingga 1964. Pada 1964 hingga 1967, Sarwo Edhie kemudian ditunjuk sebagai Komandan RPKAD yang kini menjadi Kopassus.
Sahabat Jenderal Ahmad Yani
Selain dikenal sebagai komandan tangguh, Sarwo Edhie memiliki kedekatan pribadi dengan Jenderal Ahmad Yani, Panglima Angkatan Darat saat itu. Keduanya dikenal memiliki visi serupa tentang profesionalisme militer dan kesetiaan terhadap negara.
Hubungan ini membuat Sarwo Edhie sangat terpukul atas pembunuhan Ahmad Yani dalam peristiwa G30S. Sejak saat itu, dia bertekad menumpas dalang gerakan tersebut tanpa kompromi.
Sarwo Edhie memainkan peran krusial dalam menghentikan dan menumpas G30S/PKI. Ia memimpin langsung operasi penumpasan di Jakarta dan Jawa Tengah.
Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di lahan subur komunis di Jawa Tengah. Pada tahun 1989, sebelum kematiannya, Sarwo Edhie memberi pengakuan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa 3 juta orang tewas dalam pertumpahan darah ini.
Sang Penumpas G30S PKI
Setelah peristiwa G30S/PKI pada malam 30 September 1965, tujuh perwira tinggi TNI AD, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, diculik dan dibunuh oleh pasukan yang menamakan diri Gerakan 30 September.
Saat itu, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menjabat sebagai Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) satuan elite yang kini dikenal sebagai Kopassus.
Mendengar kabar tewasnya Ahmad Yani yang juga sahabat dekatnya Sarwo Edhie segera menggerakkan pasukan RPKAD dari markas di Cijantung menuju Jakarta atas perintah Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Kostrad.
Dikutip dari buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965. Sarwo Edhie dan Ahmad Yani memiliki hubungan yang sangat erat, mereka sama-sama pernah menjadi anggota (Pembela Tanah Air) PETA di masa pendudukan jepang dan mereka mulai dekat saat tugas bersama di Angkatan Darat pada masa awal Republik Indonesia.
Sarwo Edhie dikenal sangat dekat dengan Jenderal Ahmad Yani, Panglima Angkatan Darat saat itu. Keduanya memiliki hubungan profesional sekaligus pribadi yang kuat, sama-sama menjunjung nilai disiplin dan nasionalisme tinggi dalam tubuh TNI. Bagi Sarwo Edhie, Ahmad Yani bukan sekadar atasan, melainkan sahabat dan panutan.
Kabar terbunuhnya Jenderal Ahmad Yani pada 1 Oktober 1965 menjadi pukulan emosional yang mendalam baginya. Peristiwa itu menumbuhkan tekad kuat dalam dirinya untuk menuntaskan operasi militer terhadap pelaku G30S/PKI.
Dalam berbagai catatan sejarah, Sarwo Edhie disebut menjalankan tugas itu dengan dedikasi dan kesetiaan penuh terhadap negara serta mengenang Ahmad Yani sebagai prajurit sejati yang gugur dalam kehormatan.
Ia kemudian dipercaya memimpin Akademi Militer Magelang, menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan, hingga menjabat berbagai posisi penting di masa Orde Baru. Kini namanya dikenang sebagai prajurit komando yang berani, loyal, dan berdedikasi untuk Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, pasukan RPKAD bergerak cepat ke berbagai daerah dan menjadi salah satu kekuatan utama dalam mengembalikan stabilitas nasional.
Keberhasilan operasi penumpasan membuat Sarwo Edhie mendapat pengakuan besar dari Masyarakat dan militer sebagai tokoh penyelamat bangsa. Namun, operasi ini juga meninggalkan jejak sejarah yang tak lepas dari kontroversi.
Banyak sejarawan mencatat bahwa penumpasan terhadap simpatisan PKI menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar. Meski demikian, dalam pandangan sebagian pihak, Sarwo Edhie dianggap sebagai sosok prajurit yang setia pada negara dan berani mengambil keputusan sulit di masa genting.

