
Indonesia menempati peringkat 10 besar negara dengan jumlah kasus kanker ovarium tertinggi di dunia. Berdasarkan data GLOBOCAN 2022, tercatat 15.130 kasus baru setiap tahunnya dengan angka kematian mencapai 9.673 jiwa.
Minimnya kesadaran masyarakat menjadi salah satu penyebab utama keterlambatan diagnosis. Sebagian besar pasien baru memeriksakan diri saat kanker telah mencapai stadium lanjut. Gejala awal kanker ovarium seperti perut kembung, nyeri panggul, dan gangguan pencernaan sering diabaikan karena dianggap ringan.
“Kanker ovarium adalah penyebab kematian tertinggi dari seluruh kanker ginekologi. Sayangnya, gejalanya sering tidak disadari hingga sudah parah,” ujar dr. Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk.
Faktor risiko kanker ovarium meliputi riwayat keluarga, mutasi genetik BRCA1/BRCA2, obesitas, tidak pernah hamil, serta menopause terlambat. Usia lanjut juga meningkatkan risiko. Hingga kini, belum ada metode skrining yang efektif untuk deteksi dini, meski pemeriksaan seperti USG transvaginal dan tes darah CA-125 digunakan secara terbatas.
“Tanpa deteksi dini, pasien harus menjalani operasi besar dan kemoterapi, dengan risiko kekambuhan mencapai 70% dalam tiga tahun pertama,” jelas dr. Yusuf.
Sebagai langkah inovatif, terapi lanjutan menggunakan PARP inhibitor seperti Olaparib mulai diterapkan, khusus bagi pasien dengan kondisi HRD-positif. Terapi ini mampu menekan angka kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
“Terapi target ini memberi harapan baru,” ungkap dr. Feddy, Medical Director AstraZeneca Indonesia.
President Director AstraZeneca Indonesia, Esra Erkomay, menekankan pentingnya edukasi dan akses pengobatan. “Kami mendukung sistem kesehatan yang responsif, tidak hanya dari sisi terapi tapi juga edukasi publik dan perluasan akses layanan,” ujarnya.