Hong Kong Siap Tampung Mahasiswa Harvard yang Diusir Akibat Kebijakan Trump

Diposting pada

Hong Kong, 25 Mei 2025 – Pemerintah Hong Kong menyatakan kesiapan untuk menampung mahasiswa internasional dari Universitas Harvard yang terdampak kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Langkah ini menyusul keputusan Trump yang melarang perguruan tinggi AS menerima mahasiswa asing dan mengancam deportasi mereka yang saat ini sedang menempuh studi, termasuk dalam program beasiswa.

“Bagi mahasiswa internasional yang terdampak kebijakan Amerika Serikat, Biro Pendidikan telah mengimbau semua universitas di Hong Kong untuk menyediakan langkah memfasilitasi mahasiswa yang memenuhi syarat,” ujar Menteri Pendidikan Hong Kong Christine Choi, dikutip dari AFP pada Sabtu (24/5).

Langkah nyata sudah diambil beberapa universitas, termasuk Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong (HKUST), yang pada Jumat (23/5) secara resmi mengundang mahasiswa Harvard dan kampus lain yang terdampak untuk melanjutkan studi di sana. HKUST menyatakan komitmennya untuk “memastikan pelajar berbakat bisa mengejar tujuan pendidikan mereka tanpa gangguan.”

Sebagai bentuk dukungan, sejumlah kampus Hong Kong dilaporkan telah melonggarkan batas maksimal jumlah mahasiswa asing, demi memberi ruang lebih besar bagi pelajar yang ingin pindah dari AS.

Sebelumnya, Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Kristi Noem menuduh sejumlah universitas ternama, termasuk Harvard, mempromosikan kekerasan dan anti-Semitisme, serta berkoordinasi dengan Partai Komunis China. Ia memerintahkan pencabutan sertifikasi SEVP (Student and Exchange Visitor Program) untuk Harvard, yang berdampak langsung terhadap lebih dari 6.800 mahasiswa internasional di sana, termasuk sekitar 1.300 warga negara China.

Menanggapi kebijakan tersebut, Harvard menggugat pemerintahan Trump ke pengadilan federal. Hakim Pengadilan Distrik Massachusetts, Allison Burroughs, untuk sementara menangguhkan keputusan pencabutan SEVP tersebut, sembari menunggu sidang lanjutan yang dijadwalkan pada 29 Mei 2025.

Kasus ini memicu kekhawatiran di dunia akademik internasional dan dianggap sebagai serangan terhadap independensi akademik. Dukungan Hong Kong dinilai sebagai upaya penting dalam menjaga keberlangsungan pendidikan global di tengah ketegangan politik yang meningkat.