Fenomena “Aspirational Mismatch” dan Penipuan Job Fair: Indonesia Perlu Sistem Ketenagakerjaan yang Terintegrasi

Diposting pada

Jakarta, 29 Mei 2025Indonesia tengah menghadapi krisis ketenagakerjaan yang kompleks. Salah satu persoalan utamanya adalah fenomena aspirational mismatch, di mana banyak lulusan sarjana merasa pekerjaan teknis tidak sebanding dengan gelar mereka, sementara pekerjaan ideal tak kunjung datang.

Ironisnya, lulusan vokasi seperti diploma justru terbukti lebih cepat terserap pasar kerja dan memiliki kestabilan karier lebih baik. Namun, sistem pendidikan vokasi di Indonesia masih kurang percaya diri dan belum mendapatkan tempat yang semestinya di mata masyarakat.

Kondisi ini diperparah dengan maraknya penipuan berkedok lowongan kerja, seperti yang terjadi dalam sebuah job fair di Jakarta. Kisah nyata dialami oleh Andi dan Yudha, dua pencari kerja muda yang nyaris menjadi korban. Mereka diminta membayar “biaya administrasi” mulai dari Rp20 ribu hingga Rp800 ribu, namun tidak mendapat kejelasan atau pekerjaan—hanya rasa kecewa dan dibodohi.

Masalah ini sebenarnya bersifat sistemik. Di Jepang, misalnya, pemerintah, perguruan tinggi, dan industri bekerja sama membentuk ekosistem penciptaan lapangan kerja yang efektif. Sementara di Indonesia, ketiganya berjalan sendiri-sendiri. Kurikulum lambat berubah, pelatihan kerja dari industri masih minim, dan kebijakan pemerintah lebih fokus pada pencitraan ketimbang solusi mendalam.

Jika Indonesia ingin memanfaatkan bonus demografi dan bukan justru menjadikannya bencana, maka inspirasi dari Jepang harus diadopsi secara menyeluruh: desain sistem kerja yang adil, adaptif, dan aktif menjemput talenta, bukan menunggu sambil menyaring.

Pemerintah dituntut untuk membangun ekosistem kerja yang terintegrasi, memperkuat pendidikan vokasi, mempercepat reformasi kurikulum, serta memperketat pengawasan terhadap penipuan rekrutmen.