JAKARTA – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar, Adde Rosi, menyoroti dampak fiskal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan wajib belajar 9 tahun (SD-SMP) di sekolah negeri dan swasta. Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini, meski berpihak pada keadilan akses pendidikan, berpotensi membebani keuangan negara jika tidak diatur secara cermat.
Menurut Adde, semangat putusan MK layak diapresiasi karena mendorong kesetaraan akses pendidikan dasar, terutama bagi siswa yang terpaksa bersekolah di swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Namun, ia menegaskan bahwa partisipasi masyarakat melalui sekolah swasta, khususnya milik ormas seperti NU dan Muhammadiyah, tidak boleh diabaikan.
Adde mempertanyakan kesiapan anggaran pemerintah, mengingat alokasi 20% APBN untuk pendidikan (Rp724 triliun) sebagian besar sudah terserap untuk gaji guru, BOS, dan infrastruktur. Ia juga menyoroti pemborosan anggaran pada PTKL (Perguruan Tinggi Kementerian Lembaga) yang menyerap 39% anggaran pendidikan meski jumlah mahasiswanya hanya 200 ribu, dan menyarankan penataan ulang PTKL agar sesuai dengan mandat pendidikan kedinasan.
Di tingkat daerah, banyak pemerintah daerah juga dinilai kesulitan memenuhi kewajiban 20% anggaran pendidikan karena keterbatasan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sebagai solusi, Adde mengusulkan reformulasi dan realokasi anggaran, fokus pada bantuan siswa miskin di sekolah swasta, memperluas BOS Afirmatif, serta membangun kemitraan sinergis dengan ormas pendidikan. Ia menekankan pentingnya skema pendanaan yang adil, realistis, dan berkelanjutan.
“Putusan MK adalah langkah maju untuk keadilan pendidikan. Tantangannya adalah implementasi cerdas tanpa mengabaikan peran masyarakat dan kesehatan fiskal negara,” ujar Adde Rosi.