Golkar lahir bukan dari kalangan elite politik saja, partai itu terbentuk awalnya dari sekitar 97 organisasi fungsional non-politik yang kemudian berkembang menjadi lebih dari 300an organisasi. Hal itu diungkap Sekretaris Jenderal Partai Golkar M Sarmuji, saat Ngopi dan Diskusi Buku bertajuk Golkar, Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika karya David Reeve, di Sekretariat DPP Partai Golkar Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dalam acara yang dihadiri para kader, tokoh partai, akademisi, dan pengamat itu, dijabarkan secara terang benderang pemahaman tentang sejarah dan pemikiran awal terbentuknya Golak sebagai partai politik.
“Tanpa memahami sejarah, para kader berpotensi mengalami disorientasi dalam mengambil keputusan,” kata Sarmuji.
Dirinya juga menambahkan sumber daya manusia yang berkualitas di Golkar harus dipertahankan melalui pemahaman mendalam terhadap akar pemikiran partai agar tetap berada pada koridor visi pendirian.
Sementara itu, Sejarawan JJ Rizal yang hadir dalam diskusi buku tersebut mengatakan, buku yang ditulis David Reeve itu merupakan karya paling lengkap dan otoritatif tentang sejarah Golkar. Menurutnya, gagasan Golkar tidak muncul tiba-tiba pada 1960an, tetapi berakar pada wacana kebangsaan Indonesia sejak 1930an. Dari perkembangan pemikiran kebangsaan, konstitusi 1945, hingga dinamika politik 1950an dan 1960an, semuanya membentuk ide dasar Golkar.
“Pemahaman terhadap sejarah ini penting agar publik dan kader mengetahui proses evolusi partai secara utuh,” kata Jeje, sapaan akrabnya.
Ketertarikan David Reeve Menulis Golkar
Penulis buku, David Reeve, menambahkan ketertarikannya meneliti Golkar muncul dari pengalamannya sebagai diplomat di Indonesia sejak 1969. Golkar yang berhasil meraih suara besar pada Pemilu 1971 mendorong Reeve membedah asal-usul dan evolusi partai.
Menurut Reeve, gagasan ‘golongan karya‘ mewakili beragam elemen masyarakat, petani, buruh, guru, nelayan, pekerja yang bersatu atas dasar karya dan kontribusi, bukan ideologi asing atau struktur partai konvensional.
Kader muda Golkar, Arief Rosyid Hasan, menekankan pentingnya generasi muda memahami sejarah bukan sekadar narasi, tetapi sebagai pijakan untuk membangun kesadaran politik dan budaya partisipasi yang berakar pada nilai karya dan kontribusi nyata.
Upaya mengarusutamakan budaya diskusi intelektual ini dianggap sebagai langkah visioner pimpinan partai, menjamin Golkar tetap relevan, konsisten, dan berpikiran maju, sekaligus berakar di akar rumput.
Acara bedah buku ini bukan sekadar momen retrospeksi, tetapi bagian dari strategi Golkar membumikan tradisi diskusi, literasi politik, dan identitas partai.
Dengan memahami sejarah dari akar kekaryaan hingga transformasi menjadi partai politik, Golkar diharapkan terus berfungsi sebagai wadah karya kolektif, bukan sekadar alat politik.









