Dilema Nikel di Tanah Surga: Seruan Moratorium Tambang di Raja Ampat Menguat

Diposting pada

Liputan6.com, Jakarta – Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyerukan agar pemerintah segera melakukan moratorium terhadap aktivitas tambang nikel di wilayah Raja Ampat.

Seruan ini disampaikan menyusul temuan kerusakan lingkungan yang dinilai kian mengkhawatirkan di kawasan konservasi Raja Ampat yang berstatus khusus tersebut.

Menurut Ronny, kerusakan yang terjadi bukan hanya mengancam ekosistem lokal, tetapi juga menjadi sinyal perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan pemerintah yang masih menjadikan sektor pertambangan sebagai “anak emas”, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.

“Persoalan mindset ini perlu disesuaikan dengan keadaan saat ini. Pemerintah perlu belajar dari kasus-kasus pertambangan di Sulawesi, yang secara ekonomi dan sosial justru lebih merugikan Indonesia,” kata Ronny dikutip Liputan6.com, Selasa (10/6/2025).

Ia menegaskan bahwa kawasan konservasi yang juga memiliki nilai strategis tinggi di sektor lain, seperti pariwisata, seharusnya dikenai regulasi yang jauh lebih ketat. Hal ini bertujuan agar potensi wisata dan status geopark dunia di Raja Ampat tidak dikorbankan oleh aktivitas industri ekstraktif.

“Pemerintah harus menghindari terjadinya “reproduksi sosial” di Papua, di mana segala persoalan yang terjadi di Sulawesi terkait dengan pertambangan nikel harus dihindari untuk terjadi kembali di Papua,” ujarnya.

Ronny mengusulkan agar pemerintah menghentikan sementara seluruh proses pertambangan di Raja Ampat guna dilakukan kajian ulang dan penyusunan regulasi baru yang lebih adil dan berkelanjutan.

“dalam hemat saya, ada baiknya proses pertambangan yang sedang berjalan di Raja Ampat, dihentikan sementara atau dimoratorium dulu, untuk selanjutnya ditinjau ulang dan dilakukan kajian khusus lanjutan, sampai ditemukan formula baru,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menekankan perlunya diversifikasi ekonomi untuk menghindari ketergantungan berlebih pada sektor tambang yang dinilai rentan terhadap fluktuasi harga global, kerusakan lingkungan, hingga dinamika geopolitik.

“Pemerintah harus mulai legowo menerima keadaan faktual bahwa tidak semua lahan yang berpotensi menjadi lahan pertambangan harus direalisasikan sebagai lahan pertambangan,” ujarnya.