Berbicara tentang dunia ekonomi hampir pasti tidak lepas dari benda yang bernama uang. Suka atau tidak suka, realita saat ini uang masih menjadi alat tukar universal di seluruh belahan dunia.
Dahulu nilai mata uang ditetapkan berdasarkan emas yang menjadi standar acuannya, atau disebut era Gold Standard Monetary System.
Namun sejak kekacauan pasca Perang Dunia II yang memicu Great Depression, berbagai negara tidak mampu mempertahankan keseimbangan antara emas dan sirkulasi uang. Alhasil emas ditinggalkan dan uang menjadi lepas dari pijakannya.
Kini, bisa dibilang uang “hanya” selembar kertas atau mungkin angka diatas layar yang diyakini memiliki nilai.
Realita pahitnya, seiring waktu nilai uang ini terus menurun digulung fenomena ekonomi yang disebut inflasi.
Secara sederhana, inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang disebabkan mekanisme pasar yaitu permintaan dan penawaran.
Apesnya bagi kita, berbagai gejolak yang terjadi beberapa tahun terakhir mulai dari perang dagang AS versus China, pandemi Covid-19, hingga invasi Rusia ke Ukraina, mendorong inflasi melesat begitu cepat.
Di Amerika inflasi sudah menembus level 8,5%, tertinggi sejak 40 tahun terakhir. Eropa nasibnya tak jauh berbeda. Sedangkan di Indonesia, BPS mencatat inflasi tahunan di 2022 hingga Mei ini mencapai 3,55%.
Inflasi tinggi berarti harga-harga makin mahal. Tidak hanya barang, tapi juga harga bensin, kesehatan, bahkan pendidikan, semua jadi ikut terkerek naik. Jika tidak seimbang dengan kenaikan penghasilan tentu akan membuat runyam, kecuali jika anda membeli barang-barang tidak pakai uang, eh?
Nah, salah satu upaya melindungi keuangan kita agar dapur tetap ngepul adalah mencari lebih banyak uang. Bisa dari kita yang bekerja lebih keras, atau membuat uang agar bekerja lebih keras.