Wonogiri punya masa lalu kelam, saat sebuah gunung di wilayah Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Jawa Tengah, berubah menjadi gundukan tanah coklat tak berdaya. Kebakaran besar pada 1963 melahap apapun yang berdiri di atasnya. Pohon-pohon habis, tanah retak, dan saat musim kemarau mata air nyaris berhenti mengalir.
Saat itu, Mbah Sadiman yang masih muda dan sudah berkeluarga menyaksikan sendiri bagaimana air yang dulunya mengalir deras, tiba-tiba hanya tinggal riak-riak kecil. Melihat itu, dia merasa ada sesuatu yang harus dilakukan, meski tidak yakin usahanya dapat mengubah apa pun.
“Waktu itu air nyaris mati nduk,” kenangnya saat berbincang dengan Liputan6.com Jum’at (5/12/2025).
Bagi sebagian orang, kondisi tersebut hanyalah sekadar bencana alam. Namun bagi seorang buruh tani seperti Mbah Sadiman, itu menjadi pertanda bahwa desanya sekarat. Berbekal pengalaman, dia memilih menanam beringin, pohon yang dikenal dengan akarnya yang dapat mengikat dan mengeluarkan air tanah.
Pagi-pagi sekali sekitar pukul lima, saat sebagian warga masih memasak air atau bersiap ke ladang, Mbah Sadiman sudah pamit pada keluarganya. “Mencapit“, begitu ia bilang. Biasanya dimaknai mencari rumput untuk ternak.
Yang keluarganya tak tahu, ternyata selama bertahun-tahun ia berjalan lebih jauh ke dalam ke hutan. Di sanalah Mbah Sadiman mengendap-endap membawa bibit beringin hasil cangkokannya sendiri, kemudian dengan telaten merawat pohon-pohon yang telah ditanami.
Selama puluhan tahun, pemandangan itu tidak pernah berubah. Seorang lelaki sepuh berjalan memikul cangkokan di bahunya, menanam satu persatu bibit beringin di lereng-lereng yang gersang. Tanpa tepuk tangan, tanpa kamera, bahkan tanpa sepengetahuan keluarganya.
Berkat kemahiran tangannya, kawasan tersebut menjadi hijau lagi, mengalirkan deras sumber air bersih yang dapat digunakan warga sekitar secara gratis dan mengatasi masalah kekeringan yang sering terjadi.
Kerja Sunyi Puluhan Tahun
Rutinitas Mbah Sadiman dimulai dini hari. Pukul lima sampai tujuh pagi ia gunakan untuk keluarga. Setelah itu, ia bergerak ke gunung membawa cangkokan beringin, merawat bibit, membersihkan lahan, dan menata baris tanaman. Satu baris beringin, satu baris kopi. Perpaduan yang membuat lahan tetap produktif, sekaligus menahan air.
Untuk mendapat bibit, ia bahkan membuat sistem “tukar tambah”. Ia menawarkan bibit cengkeh kepada warga yang memiliki bibit beringin, lalu menukarnya.
Bibit beringin besar ia cangkok ulang untuk memperbanyak. Semuanya memakai uang pribadi. Menurutnya, biaya perawatan justru jauh lebih mahal daripada membuat bibit.
“Kalau saya ada uang lebih, saya lebih fokus untuk biaya merawatnya. Karena biaya merawat lebih mahal daripada bibitnya,” ucap Sadiman,
DIa mengenang, dulu sebagian orang menertawakannya. “Ngapain menanam beringin? Tidak menghasilkan uang,” begitu gunjingan yang selalu ia dengar.
Namun hal tersebut tidak membuatnya goyah sama sekali. Justru cibiran itu menjadi bahan bakar yang membuatnya semakin bersemangat.
“kalau saya berhenti karena omongan itu, saya gagal dong? Kita itu jangan mudah menyerah,” ucapnya.
19 Tahun Keluarga Tak Tahu
Dari semua kisah hidupnya, ada bagian yang paling dramatis. Selama 19 tahun, Mbah Sadiman tidak pernah bilang apa-apa ke keluarganya tentang ribuan beringin yang sudah ia tanam. Mereka baru tahu ketika ada kru media yang singgah ke rumah pada 2014.
“Lho, Mbah selama ini nanam beringin?,” begitu kira-kira kekagetan keluarga, diulang Sadiman.
Sejak saat itu, kisah hidupnya mulai dikenal. Liputan-liputan media mulai berdatangan. Anak-anak SMK datang membantu menanam. Perusahaan besar seperti Pertamina hingga komunitas pecinta lingkungan pun ikut turun tangan.
Bahkan, pengakuan pun datang. Pada 2016, Mbah Sadiman meraih Kalpataru kategori Perintis. Penghargaan demi penghargaan silih berganti, termasuk Mandaya Award dan berbagai apresiasi dari pemerintah. Menurut Mas Azis yang mendampinginya sejak 2014, tahun 2025 adalah tahun dengan penghargaan terbanyak yang pernah diterima Mbah Sadiman.
Namun penghargaan bukanlah penutup cerita. Ia masih menanam hingga hari ini, dan bagi Mbah Sadiman, sorotan kamera tidak pernah menjadi tujuan. Ia hanya ingin air desa tetap hidup.
Pesan Mbah Sadiman Untuk Generasi Muda
Di sela kesibukannya merawat kopi dan beringin, Mbah Sadiman selalu punya pesan yang sama ketika ditanya tentang masa depan. Suaranya lembut, tapi tegas.
“Rebutlah tahun-tahun yang akan datang,” ujarnya.
Ia berharap generasi muda mau melanjutkan perjuangannya. Menjaga hutan, merawat pohon, menjaga mata air desa tetap melimpah dan menjadi berkah bagi warga sekitar.
Menurutnya, apa yang ia lakukan bukanlah warisan berupa penghargaan, melainkan warisan berupa keberlanjutan hidup.
Di usianya yang tak lagi muda, langkah Mbah Sadiman mungkin semakin lambat dibanding dulu. Namun pohon-pohon yang ia tanam selama puluhan tahun kini berdiri raksasa, kokoh, menjadi penopang kehidupan desa. Ia memulai perjalanan itu dari gunung yang hangus dan nyaris mati. Hari ini, gunung itu hidup kembali.
Semua itu berawal dari keputusan seorang buruh tani yang percaya, bahwa satu pohon beringin bisa menyelamatkan masa depan.


