Liputan6.com, Jakarta Menjelang Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia bersiap menyambut momen istimewa ini dengan ibadah kurban. Bukan hanya sekadar menyembelih hewan, kurban memiliki nilai spiritual dan sosial yang tinggi. Daging kurban tidak hanya dinikmati oleh shahibul kurban dan keluarganya, tetapi juga menjadi bentuk kepedulian sosial bagi kaum fakir miskin dan masyarakat sekitar.
Salah satu pertanyaan yang sering muncul menjelang penyembelihan hewan kurban adalah, “Apakah shahibul kurban boleh memakan daging kurbannya sendiri?” dan “Berapa banyak seorang shahibul kurban boleh memakan daging kurban maksimal?”. Ini merupakan hal penting karena pelaksanaan kurban tidak hanya soal menyembelih, tapi juga bagaimana daging tersebut dibagikan sesuai ketentuan syariat.
Memahami aturan pembagian daging kurban dan hak shahibul kurban untuk mengonsumsinya sangat penting agar ibadah ini membawa manfaat dan keberkahan yang luas. Liputan6.com akan membahas secara rinci batas seorang shahibul kurban boleh memakan daging kurban maksimal, disertai dengan dalil dari Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW, Selasa (27/5/2025).
Shahibul kurban, atau dikenal juga sebagai mudhahi, adalah orang yang berkurban atas nama dirinya sendiri atau keluarganya. Menurut syariat Islam, shahibul kurban diperbolehkan untuk memakan sebagian daging kurbannya. Namun, ada batasan yang dianjurkan agar nilai sosial dan ibadah dari kurban tetap terjaga.
Para ulama sepakat bahwa shahibul kurban boleh memakan maksimal sepertiga (1/3) dari daging hewan kurban. Hal ini berlaku khusus untuk kurban sunah, yaitu kurban yang dilakukan bukan karena nadzar atau kewajiban lainnya. Konsumsi sepertiga ini mencerminkan keseimbangan antara hak pribadi dan kepedulian sosial.
Namun, jika kurban dilakukan sebagai bentuk nadzar (janji kepada Allah yang wajib ditunaikan), maka shahibul kurban tidak boleh memakan sedikit pun dari daging kurban tersebut. Seluruh bagian daging wajib disedekahkan kepada fakir miskin.
Dalam Islam, pembagian daging kurban memiliki ketentuan yang jelas dan harus dilaksanakan sesuai syariat. Ketentuan ini juga bersandar pada dalil-dalil yang sahih, baik dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad SAW.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)
Ayat ini menjelaskan bahwa daging kurban hendaknya dibagi menjadi beberapa bagian, yang salah satunya diberikan kepada fakir miskin. Dalam praktiknya, para ulama bersepakat bahwa daging kurban sunnah (bukan nadzar) sebaiknya dibagi menjadi tiga bagian utama:
Sepertiga untuk orang yang berkurban dan keluarganya.
Sepertiga untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Sepertiga untuk diberikan kepada kerabat, tetangga, atau teman sebagai hadiah.
Dalil lain juga datang dari sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud, “Makanlah, simpanlah, dan sedekahkanlah (daging kurban).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits ini memperkuat konsep pembagian daging kurban menjadi tiga, yaitu untuk dikonsumsi sendiri, disimpan, dan disedekahkan kepada yang membutuhkan. Maka dari itu, kurban tidak hanya bermakna ibadah individual, tetapi juga menjadi sarana berbagi dan mempererat ukhuwah Islamiyah di tengah masyarakat.