Hari itu hati Faisal begitu gelisah. Masifnya pemberitaan soal banjir Sumatra membuat pikirannya kusut. Setiap saat dia terus menghubungi istri dan anaknya. Memastikan kondisi cuaca dan ketinggian genangan air.
Di ujung telepon, belum ada kabar gembira disampaikan sang istri. Terkecuali, hujan yang belum mereda dan ketinggian air terus meningkat. Pikirnya kala itu, hanya ingin segera pulang ke rumah. Ada di tengah-tengah keluarga karena keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Notaris asal Aceh itu sedang menghadiri kongres profesi di Jakarta saat kampungnya mulai kebanjiran. Sementara istri, anak dan orang tuanya ada di rumah mereka di Kota Langsa. Itu sebabnya, dia cemas bukan main. Takut keadaan makin parah dan perjalanan pulang menjadi tak mudah.
Di pagi buta , Rabu (26/11/2025), Faisal kembali dihubungi istrinya. Mengabarkan air sudah mencapai teras rumah mereka. Kondisi yang tak pernah terjadi sebelumnya sekalipun curah hujan tinggi.
“Padahal di daerah saya seyogiyanya dan kebiasaannya, belum ada sejarahnya air itu sampai ke rumah bahkan ke wilayah atau kawasan rumah saya, lingkungan itu,” ceritra Faisal saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (2/12/2025).
Mendapat kabar itu, hatinya makin berkecamuk. Dia memutuskan harus segera kembali hari itu, apa pun yang terjadi. Meski sadar kondisinya sudah genting. Tetapi keluarga sangat membutuhkan kehadirannya. Sembari terus memantau keluarga, dia berburu tiket pesawat ke Medan sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Syukurnya, dia mendapatkan penerbangan malam itu.
Perjalanan Mencari Keluarga Dimulai
Faisal akhirnya tiba di Medan jelang dinihari. Sebenarnya, dia ingin terus melanjutkan perjalanan malam itu, Apa daya, kondisi jalanan menuju Aceh, tepatnya di jalur Pangkalan Susu ke Besitang sudah tak biasa diakses kendaraan karena sudah terendam banjir. Dengan berat hati, dia memutuskan bermalam sambil menyiapkan tenaga untuk memulai perjalanan besok.
“Hari Kamis pagi saya masih terus memantau keadaan, rupanya titik banjir itu makin meluas, makin banyak. Dari mulai lewat Simpang Pangkalan Susu menuju ke Besitang, kemudian memasuki daerah perbatasan Aceh ke Sumut. Dan setelah perbatasan Aceh Sumut, setelah di depannya di desa Sungai Liput itu, itu juga banjir parah. Sehingga saya tidak bisa menjangkau daerah tersebut,” ucap Faisal.
Hanya berbekal doa dan keinginan bertemu keluarga, Faisal melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Dia mencari info lokasi truk ekspedisi untuk sampai ke titik paling jauh yang bisa dijangkau kendaraan. Sampailah di gerbang wilayah Pangkalan Susu. Faisal sangat kaget, kawasan itu sudah bak lautan. Banjir menggenang cukup tinggi. Beruntung pemandangan itu tak membuatnya patah semangat. Faisal mencari informasi sambil menjalan kaki cukup jauh, bagaimana bisa menyeberangi titik banjir untuk menuju tempat aman mencari kendaraan. Oleh masyarakat setempat, dia diberikan info ada jasa fasilitas penyewaan boat nelayan kecil. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengiyakan.
Setelah diantarkan ke titik aman. Faisal kembali melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki menuju perbatasan Aceh-Sumut. Tak tangung-tanggung jarak yang dia tempuh. Lebih kurang 60 kilometer. Beruntung di setiap perjalanan ada beberapa kali pemotor melintas dan menawarkan tumpangan. Baginya, pertolongan itu cukup membantu saat kakinya mulai lelah.
Tak terasa, tibalah malam hari. Perjalanannya masih panjang. Sementara tantangan kian berat. Ditambah lagi listrik padam. Dia putuskan untuk istirahat di masjid yang ternyata menjadi lokasi pengungsian. Setidaknya, kata Faisal, mengisi tenaga sejenak meski hanya duduk bersandar. Sebelum kembali berjuang esok hari.
“Malam itu, saya tidak mungkin lagi melanjutkan perjalanan dikarenakan sudah malam, dan keadaan mati listrik, gelap dan banjir yang dalam, sehingga saya memutuskan untuk menginap di masjid yang dekat dengan perbatasan tersebut,” ujarnya dengan nada yang lirih.
Lewati Hutan, Gunung Terjal hingga Terobos Banjir dengan Jalan Kaki
Jumat pagi, Faisal tak melihat ada tanda-tanda banjir akan surut. Kondisi itu semakin membuatnya tidak ada pilihan untuk melanjutkan perjalanan. Terpaksa, dia kembali berjalan kaki dengan menyusuri rel kereta api yang lokasinya cukup tinggi dari daratan lainnya. Sehingga aman dari banjir.
Namun perjalanan itu kembali menghadapkan ia masalah. Ada dua titik longsor yang menutup jalurnya. Dia terpaksa memutar arah. Masuk ke perkebunan sawit, menembus semak-semak, menyeberangi kubangan lumpur, dan akhirnya tiba di Kodim Aceh Tamiang. Meski sedikit tenang, tanangannya belum usai. Sebab di sana, banjir sangat parah.
Rumah Faisal dari Kodim Aceh Tamiang masih terhitung jauh. Melihat kondisi itu, dia akhirnya kembali berjalan kaki. Kali ini, dia memilh jalur alternatif dengan melewati hutan. Jarak tempuhnya kira-kira 6 hingga 7 jam untuk bisa sampai ke desa Paya Bedi. Sebuah rute yang sebelumnya tak pernah ia tempuh, namun itulah satu-satunya jalur bisa dilalui. Faisal tak menyangka. Tak sekadar melewati hutan, di jalur itu dia juga naik turun gunung yang terjal. Saat merasa nyaris sangat lelas, Faisal dipertemukan dengan orang-orang yang sedang mencari jalur alternatif seperti dirinya. Saat itulah, semangatnya kembali menyala.
“Melalui gunung yang banyak terjal dan ada juga banjir yang kita lalui. Dan ternyata itu bukan hanya saya yang menjalani rute tersebut. Ada beberapa teman yang saya jumpai di jalan. Akhirnya kami bersama-sama seluruh itu mencapai titik berikutnya yaitu kota Kuala Simpang,” kata Faisal.
Setelah berhasil menembus hutan, gunung terjal sampailah dia di Kampung Sriwijaya, Kota Kuala Simpang, Rupanya, daerah itu juga banjir bahkan ketinggiannya mencapai dua meter. Air berwarna coklat pekat itu tampak mengurung seluruh desa. Pada saat itulah rasa putus asa kembali mulai muncul karena tidak ada satupun akses untuk keluar dari daerah tersebut. Di kondisi tersebut, Faisal menyaksikan langsung bagaimana para warga berusaha untuk tetap bertahan hidup. Sambil menenangkan pikiran dan istirahat, dia putuskan menepi dan mencari tempat aman bersama keluarga untuk besok kembali melanjutkan perjalanan.
“Ada yang membakar ubi, ada yang merebus daun singkong. Dengan begitu mereka akan bertahan hidup kalau tidak begitu miris saya lihat,” ujar Faisal penuh rasa miris.
Di hari ketiga atau Sabtu (29/11/2025) pagi, saat bersantai sejenak tiba-tiba Faisal seperi mendapatkan pertolongan. Dia dipertemukan dengan seorang warga membawa speedboat yang akhirnya bisa mengantarkannya menyeberangi banjir menuju pusat kota Kuala Simpang yang tampak porak-poranda. Katanya, pemandangan kala itu persis tsunami Aceh di tahun 2004. Tak hanya genangan air, seluruh permukaan kota juga tertutup lumpur setinggi 30 hingga 50 cm. Setelah sampai di pusat kota, speedboat tidak bisa mengantarkan perjalanan mereka lebih jauh. Apa daya, Faisal dan beberapa orang harus kembali berjalan kaki untuk sampai ke tujuan masing-masing. Mereka tak punya pilihan selain menerobos banjir yang tingginya mencapai dada hingga leher orang dewasa. Bahkan di satu titik, dia dan sejumlah orang tersebut nyaris terseret arus yang deras. Sekuat tenaga mereka berpegangan tangan agar tak terjatuh.
“Alhamdulillah kami mampu melewati dari mulai kompi perkantoran Kabupaten Aceh Tamiang dengan arus yang sangat deras, sampai ada terbawa arus, tapi berhasil kita saling menyelamatkan, saling menjaga antara teman, karena melawan arus bukan sesuatu yang gampang pastinya,” jelas Faisal mengingat perjuangannya saat melawan derasnya arus banjir saat itu.
Hari itu, tubuhnya sudah benar-benar basar kuyup. Kondisi badan mulai menggigil karena basah dan lumpur yang lengket. Tetapi semangatnya bertemu anak-anak tidak surut.
“Ternyata keadaan itu membuat kita dalam keadaan kritis ya, menggigil, kedinginan, ya dalam ketakutan, kecemasan pastinya, tapi Alhamdulillah berkat pertolongan Allah, kami di hari Sabtu tersebut sampai ke titik daratan yang bisa kami untuk melakukan istirahat kembali,” ungkap Faisal.
Setelah bermalam, tak terasa sudah empat hari dia berjuang melewati banjir sejak dari Pangkalan Susu hingga Kota Kuala Simpang. Setidaknya sudah tiga perempat perjalanan di lalui. Meski di hari Minggu (30/11/2025) banjir belum juga surut dan fisik mulai lemah, dia putuskan untuk tetap berjalan.
“Motivasi saya, semangat saya untuk terus berada di Kota Langsa, untuk berharap sampai di Kota Langsa, bertemu dengan istri dan anak-anak, orang tua,” ucap Faisal penuh semangat.
Ia juga berusaha memberikan semangat dan mengajak teman-teman lainnya terus mengarungi banjir yang masih menggenangi. Dia tak lagi fokus berapa lama waktu ditempuh. Sampai akhirnya sampailah dia di Kota Langsa. Tempat rumahnya berada. Semangatnya kembali terkumpu. Sebabnya hanya tinggal beberapa saat lagi, akan bertemu dengan keluarganya.
“Alhamdulillah, kami bisa melalui, sekalipun kami harus berenang melalui banjir tersebut, sembari meneguk beberapa tegukan air banjir yang berlumpur tersebut,” kata Faisal dengan tawa mirisnya.
Faisal Kini Berkumpul dengan Keluarga
Setelah menempuh perjalanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, mulai dari menyeberangi banjir dengan boat kecil, berjalan puluhan kilometer, menyusuri rel kereta api, mendaki kebun sawit, menembus hutan disertai gunung-gunung terjal, hingga berenang melawan arus yang dinginnya menusuk tulang, akhirnya ia sampailah di rumah jelang sore. Betapa bahagianya Faisal bisa melihat langsung kondisi istri, anak dan orang tuanya dalam keadaan baik-baik saja. Seketika, semua lelah dan ketakutan itu berubah menjadi bahagia tak terkira.
“Perasaan saya setelah bertemu mereka itu sangat bahagia, saya sendiri sangat bahagia, sangat haru ya, pastinya sangat haru, karena ini perjalanan yang penuh emosional. Dalam perjalanan, sekalipun fisik saya berada di pesawat, di truk, berjalan kaki, atau di atas boat, pikiran saya selalu berada di Langsa.” katanya menenang momen empat hari penuh perjuangan.
Dia bersyukur Allah selalu memberi perlindungan dari setiap tantangan yang ditemuinya. Dia yakin itu semua tak lepas dari keteguhannya untuk segera ada dalam pelukan keluarga.
“Akhirnya, biarpun lelah menempuh perjalanan panjang tersebut, saya sembari bersyukur kepada Allah, istri dan anak, keluarga orangtua juga, semua dalam keadaan baik-baik saja,” ucap Faisal dengan nada sumringah.
Kondisi Langsa Pascabanjir
Di Kota Langsa sendiri, katanya, meski banjir tak separah Aceh Tamiang, kehidupan tetap tercekik oleh keterbatasan. Sembako langka, minyak goreng dan beras sulit ditemukan, BBM menipis, dan kemarahan warga mulai memuncak. Ia bahkan menyaksikan sendiri saat malam hari sebuah SPBU menjadi lokasi kekacauan, setelah antrean berjam-jam berakhir dengan pengumuman bahwa bensin tidak tersedia.
“Saya menyaksikan sendiri ada SPBU, yang diamuk masalah, yang dikarenakan oleh antri panjang yang telah melakukan selama berapa jam, sampai dengan 3-5 jam, ternyata setelah antri panjang, dinyatakan SPBU-nya ditutup, sehingga mengecewakan bagi masyarakat,” jelas Faisal dengan nada miris.
Faisal juga mengungkapkan kekecewaannya akan pemerintah yang lamban dalam merespons bencana banjir besar tersebut. Menurutnya, bantuan resmi dari pemerintah hampir tidak terlihat di sepanjang jalur pengungsian yang ia lalui saat berusaha kembali ke Langsa melalui Medan. Faisal membandingkan dengan respons cepat pemerintah saat peristiwa tsunami Aceh pada 2004 silam.
“Kalau kita berkaca pada tsunami saat itu, di mana 24 Desember terjadi tsunami, maka di 25 Desember tersebut, wakil presiden itu sudah mencoba bergerak dari Jakarta dengan pesawat untuk bisa mendarat di Aceh, melihat situasi secara langsung, tapi ketika saya menjalani perjalanan ini, sudah 5 atau 6 hari banjir di Aceh, saya tidak melihat ada satu dapur umum pun sepanjang perjalanan saya itu,” ujar Faisal penuh kecewa.
Seluruh dapur umum yang ia temui justru dibuat secara swadaya oleh warga, bahkan oleh masyarakat yang juga menjadi korban banjir. Kondisi ini menurutnya menunjukkan lemahnya koordinasi pemerintah dalam menyediakan kebutuhan dasar bagi pengungsi.
Faisal berharap pemerintah segera meningkatkan penanganan dan mempercepat pendistribusian bantuan ke wilayah-wilayah terdampak banjir. Ia juga menilai pemerintah tidak akan mampu menangani situasi ini sendirian.
“Pemerintah harus menggandeng NGO, LSM, baik lokal maupun internasional, karena ini bukan hanya soal korban manusia. Infrastruktur dan banyak fasilitas publik juga hancur. Skala kerusakannya sangat besar,” ujarnya.










