Site icon Info Bet Gratis – Main Zeus Gacor

Anak Muda Mainkan Peran dalam Dinamika Demokrasi di Ruang Digital

Berdasarkan Data CIVICUS Monitor mencatatkan ranking demokrasi di Indonesia adalah 48 dari 100. Artinya, berada di kategori Obstructed (Terhalang).

Merespons hal itu, Peneliti Utama Muhammad Fajar, Understanding Youth Engagement and Civic Space in Indonesia mengeksplorasi bagaimana orang muda memahami pelemahan demokrasi, merasakan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari, dan merumuskan strategi sosial-politik dalam penyempitan ruang sipil melalui risetnya yang berlangsung mulai dari November 2024 higga Februari 2025.

“Terdapat dua literatur teoritik yang menjadi landasan studi ini. Dua diantaranya adalah Pandangan kejelasan yang sifatnya elitis dan Pandangan yang berfokus pada kelompok masyarakat,” ujar Fajar saat memaparkan hasil risetnya di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, seperti dikutip dari keterangan diterima, Minggu (14/12/2025).

Menurut dia, temuan kunci dari riset kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling adalah persepsi pemuda terhadap ruang sipil sangat bervariasi. Perbedaan antar wilayah dan pendapatan juga sangat berpengaruh terhadap persepsi pemuda di ruang sipil.

“Namun secara keseluruhan, membuktikan pengalaman sosial ekonomi mempengaruhi anak muda dalam menilai ruang sipil saat ini,” ucap Fajar.

Hasil riset kualitatifnya, lanjut dia, ada empat poin penting. Pertama, Awareness of Shirking Civic Space, perasaan aman dan tidak aman yang dialami oleh organisasi/kelompok sosial dalam ruang sipil dipengaruhi oleh sejauh mana kedekatan dan keterlibatan mereka dengan pemerintah. Semakin jauh organisasi dengan pemerintah, mereka semakin merasa tidak aman.

“Kedua, Needs and Expectations, pemerintah memiliki keharusan dalam menjamin dan memenuhi hak-hak politik dan sipil. Ketiga, Hopes in the Government, organisasi/kelompok sosial saat ini masih terbagi menjadi dua kubu, yaitu kelompok/organisasi yang mengharapkan intervensi dari pemerintah dan kelompok/organisasi yang menentang pemerintah,” tutur Fajar.

“Keempat, Strategies to Counter Democratic Backsliding, menghadapi kemunduran demokrasi, kita harus menggandeng energi progresif anak muda, memperkuat organisasi sebagai ruang belajar, dan memperluas jejaring,” sambung Fajar.

Pondasi Demokrasi

Dalam kesempatan senada, Co-Founder dan Executive Director Yayasan Partisipasi Muda, Neildeva Despendya yang ikut dalam sesi pemaparan riset mengatakan, ruang sipil yang seharusnya menjadi pondasi demokrasi saat ini.

“Ada lima indikator civil society bisa dikatakan sehat, Pertama: Kebebasan berasosiasi, kebebasan untuk berkumpul, dan kebebasan berekspresi. Kedua: Peran negara dalam melindungi hak-hak fundamental. Kedua: Ruang publik untuk kegiatan sosial, politik, dan budaya.” kata dia.

“Ketiga: Lingkungan yang mendukung diskusi dan keberagaman pendapat. Keempat: Kebebasan untuk mengkritik dan menyampaikan pandangan baik secara daring maupun luring. Kelima: Kebebasan untuk mengkritik dan menyampaikan pandangan baik secara daring maupun luring,” beber Neildeva.

Neildeva menegaskan, hambatan bagi orang muda bukanlah soal ruang, melainkan hambatan struktural, seperti risiko hukum, keamanan daring, dan lemahnya institusi.

If civic space turns toxic, forget about living the life we deserve,” seru dia.

Pemuda dalam Era Digital

Sementara itu, Dekan FISIP Unhas Prof Sukri menyatakan, pemuda saat ini berada dalam era digital, sehingga nilai-nilai yang membatasi akan semakin banyak dalam sehari-harinya.

“Era digital ini Generasi Z menjadi aktor baru yang memperluas ruang sipil ke ranah virtual (digital civic space). Kebebasan individu kini bertransformasi menjadi kebebasan berekspresi digital, sedangkan kontrol negara hadir melalui regulasi siber dan sistem informasi,” tutur dia.

Prof Sukri mengungkap, ruang sipil yang modern mencerminkan pergeseran kekuasaan dari institusi ke jaringan yang meletakkan generasi muda sebagai salah satu penggerak utama perubahan politik kultural. Sebab, kebebasan dalam ruang sipil bergantung pada kesepakatan bersama.

“Temuan riset (dari Dr. Muhammad Fajar) menunjukkan bahwa aktivitas sosial informal seperti kegiatan komunitas, bantuan sosial, relasi langsung lebih efektif daripada politik formal. Selain itu, teori lama tentang rational voter nampaknya mulai tergser oleh realitas baru yakni emotional voter dan identity-driven participation di kalangan pemuda,” jelas Prof Sukri.

“Ruang sosial dan digital kini menjadi medan politik utama bagi generasi muda,” sambung dia menutup.

Exit mobile version