Aksi bullying alias perundungan hingga saat ini masih kerap terjadi. Tak hanya di sekolah, bahkan hingga tingkat kampus atau universitas.
Beberapa bulan terakhir, aksi bullying alias perundungan bahkan hingga menewaskan si korban. Aksi bullying alias perundungan di sekolah atau kampus ini memang rupanya menjadi momok bagi para orang tua.
Yang baru saja terjadi adalah siswa kelas XI SMAN 72 Jakarta berinisial S sempat bercerita adanya dugaan perundungan atau bullying dalam peristiwa ledakan saat salat Jumat di sekolahnya.
“Saya dapat info katanya pelakunya terindikasi siswa. Mungkin karena dia tuh korban bully jadi ingin balas dendam,” tutur S di lingkungan SMAN 72 Jakarta, Jumat 7 November 2025.
Dengan pakaian yang masih berlumuran darah teman-temannya, S bercerita bahwa ledakan terjadi di tengah masjid saat salat Jumat baru akan dimulai. Para siswa pun langsung berhamburan keluar masjid.
“Kronologi sebelum salat Jumat lagi mau khutbah selesai, lagi mau iqomah, tiba-tiba ada ledakan. Dari tengah masjid. Ada ledakan kita kabur, nyelamatin teman-teman, setelah nyelametin teman-teman ada ledakan lagi kedua kali,” cerita S.
Sebelum itu, sebaris kalimat yang menyayat hati itu menggambarkan pilunya perasaan seorang siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) berprestasi di Kabupaten Sukabumi berinisial AK (14). Kalimat yang tertuang dalam sepucuk surat yang ditemukan di kamarnya.
Surat itu ditemukan bersamaan dengan AK yang meninggal bunuh diri di rumahnya, Selasa malam 28 Oktober 2025. Surat berbahasa Sunda itu ditulis di secarik kertas putih.
Dalam surat itu, AK menyebut dirinya Eneng. Dia memohon maaf kepada ayah, ibu dan keluarganya. Dalam surat itu, AK juga mencurahkan kehgundahan hati yang dialami akibat perundungan atau bullying di sekolahnya.
Dan pada Rabu pagi, 15 Oktober 2025, Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana (Unud) diduga menjadi korban bullying atau perundungan hingga memicunya bunuh diri dengan melompat dari lantai dua gedung FISIP Unud.
Berikut sederet kasus bullying alias perundungan hingga menyebabkan orang tewas dihimpun Tim News Liputan6.com:
1. Ledakan di SMAN 72, Muncul Isu Pelaku Diduga Korban Bullying
Siswa kelas XI SMAN 72 Jakarta berinisial S sempat bercerita adanya dugaan perundungan atau bullying dalam peristiwa ledakan saat salat Jumat di sekolahnya.
“Saya dapat info katanya pelakunya terindikasi siswa. Mungkin karena dia tuh korban bully jadi ingin balas dendam,” tutur S di lingkungan SMAN 72 Jakarta, Jumat 7 November 2025.
Dengan pakaian yang masih berlumuran darah teman-temannya, S bercerita bahwa ledakan terjadi di tengah masjid saat salat Jumat baru akan dimulai. Para siswa pun langsung berhamburan keluar masjid.
“Kronologi sebelum salat Jumat lagi mau khutbah selesai, lagi mau iqomah, tiba-tiba ada ledakan. Dari tengah masjid. Ada ledakan kita kabur, nyelamatin teman-teman, setelah nyelametin teman-teman ada ledakan lagi kedua kali,” ucap dia.
Ledakan kedua terdengar di belakang sekolah. Sementara terduga pelaku diketahui merupakan seniornya yakni kelas XII.
“Tadi benar-benar panik banget saya gendongin satu-satu bantu ngobatin korbannya. Untung saya belajar dari online cara ngobatin pasien jadi Alhamdulillah bisa ngobatin sampai dibawa ke Rumah Sakit Islam,” ungkapnya.
S mengaku sempat melihat percikan api. Saat peristiwa, telinganya turut berdengung hingga tidak dapat mendengar apapun.
“Lagi ramai banget, penuh (masjid), tapi di atas lagi tidak ada orang,” S menandaskan.
Sementara itu, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menyatakan ada sebanyak tujuh peledak yang dibawa terduga pelaku di kasus ledakan SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara (Jakut).
Juru Bicara Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana membenarkan temuan timnya, bahwa ada sebanyak tujuh peledak berdasarkan hasil Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada Jumat, 7 November 2025.
“Benar,” tutur Mayndra saat dikonfirmasi, Senin 10 November 2025.
Menurutnya, sebanyak empat peledak berhasil diledakkan di dua lokasi berbeda dalam lingkungan SMAN 72 Jakarta. Meski begitu, dia belum merinci lebih jauh perihal temuan peledak tersebut.
“TKP 1 (Masjid) dua bom meledak, TKP 2 Taman Baca dan Bank Sampah terdapat dua bom meledak. Tiga yang tidak meledak,” ucap dia.
2. Menyayat Hati Isi Tulisan Siswi Bunuh Diri di Sukabumi Diduga Korban Bullying
“Sebenarnya Eneng pengen pindah sekolah, tapi mamah dan bapak enggak punya uang. Eneng jadi tidak mau sekolah, karena suasana kelas yang seakan nyuruh eneng untuk pergi.”
Sebaris kalimat yang menyayat hati itu menggambarkan pilunya perasaan seorang siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) berprestasi di Kabupaten Sukabumi berinisial AK (14).
Kalimat yang tertuang dalam sepucuk surat yang ditemukan di kamarnya. Surat itu ditemukan bersamaan dengan AK yang meninggal bunuh diri di rumahnya, Selasa malam 28 Oktober 2025.
Surat berbahasa Sunda itu ditulis di secarik kertas putih. Dalam surat itu, AK menyebut dirinya Eneng. Dia memohon maaf kepada ayah, ibu dan keluarganya. Dalam surat itu, AK juga mencurahkan kehgundahan hati yang dialami akibat perundungan atau bullying di sekolahnya.
Berikut isi surat yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Ma, kalau misalnya Eneng punya salah sama Mama maaf ya. Eneng tidak bermaksud menyakiti hati Mama. Waktu itu Eneng lagi emosi, lagi marah. Pak, maaf juga kalau Eneng ada salah sama Bapak. Maaf teh (nama kakak perempuan) Eneng minta maaf kalau selama ini suka tidak sopan, sering marah-marah. Itu semua Eneng lakukan waktu sedang emosi, maaf ya.
Teruntuk guru di sekolah, A (korban AK/Eneng) minta maaf kalau punya salah sama Ibu-bapak semuanya. Untuk teman-teman sekelas, A cuma bisa memaafkan buat yang tidak suka nyindir-nyindir A, kayak (menyebutkan empat nama teman). Yang selebihnya, kalau mau dimaafkan, datang saja ke rumah langsung bicara sama mamah A.
A bukan tidak mau memaafkan kalian atau A bukan dendam, tapi A sudah berusaha memaafkan kalian-kalian yang sering bikin hati A sakit, entah lewat perkataan, perilaku, tapi tidak perkataan mah sering oleh A didapatkan dari si (nama seseorang), tidak tahu salah A apa, tapi A merasa (nama seseorang) suka menyindir ke A, kayak kejadian yang (nama seseorang) bilang, “Paeh we, paeh lah” (“mati aja, mati lah”), itu bikin A benar-benar sakit hati.
(nama seseorang), kamu tahu enggak sih waktu kemarin kamu ngadu domba aku, dari situ aku di bikin hancur sehancur-hancurnya. Padahal aku sudah anggap kamu kayak kakak sendiri.
Ini Eneng enggak ngarang atau apa-apa, Eneng cuma pengen nyampein pendapat hati eneng yang sudah banyak terluka. Bukan baper bukan apa, tapi Eneng sudah dibuat sakit ku perkataan teman-teman di kelas. Oleh perkataannya, sikap, Eneng sudah capek, Eneng cuma pengen ketenangan. Sebenarnya Eneng pengen pindah sekolah, tapi mamah dan bapak enggak punya uang. Eneng jadi tidak mau sekolah, karena suasana kelas yang seakan nyuruh eneng untuk pergi.
Eneng sayang Mamah, Bapak. I love you
Sebenernya masih banyak cerita teh, tapi segini aja we babay
Menurut Sekretaris Desa Bojong, Dede Nuryadin, peristiwa duka meninggalnya AK pertama kali diketahui oleh nenek korban sekira pukul 23.00 WIB.
“Kronologisnya sekitar jam 23.00-an, neneknya keluar mau ke air. Neneknya kurang jelas pas keluar di jalan terhalangi sesuatu yang menggantung. Setelah berteriak minta tolong, ternyata diketahui itu AK (korban),” jelas Dede Nuryadin, Rabu 29 Oktober 2025.
Pihaknya berkoordinasi dengan aparat berwajib, dan puskesmas untuk memeriksa kondisi korban.
“Malam itu juga, sekitar jam 00.00 WIB, kami langsung kontak petugas. Alhamdulillah pada datang Kapolsek, Danramil, puskesmas datang semua termasuk satpol PP,” tambahnya.
Kepala Sekolah Wawan Setiawan mengungkapkan duka mendalam atas kepergian AK. Ia menegaskan bahwa korban merupakan salah satu siswi berprestasi.
“Ananda almarhumah adalah siswa kami yang berprestasi, punya talenta, dan sangat aktif di madrasah ini. Beliau aktif di Pramuka hingga meraih Pramuka Garuda dari Bupati. Hari Senin kemarin bahkan beliau menjadi petugas pengibar bendera,” ujar Wawan.
Menurut Wawan, keaktifan dan kondisi psikologis korban di sekolah tampak baik. Korban sempat meminta izin pulang lebih awal pada hari tersebut karena sakit perut, bahkan diantar oleh temannya.
“Secara kasat mata, kami juga tidak percaya dengan kejadian ini,” tambahnya.
Wawan Setiawan menegaskan bahwa lingkungan sekolahnya di Cikembar adalah Sekolah Ramah Anak yang menolak segala bentuk kekerasan.
“Bullying di sini itu haram hukumnya. Tidak boleh ada kekerasan verbal maupun fisik. Kami tentu menjadi pelajaran di internal kami,” tegasnya.
Wawan menjelaskan, dari sisi proses di sekolah, sejauh ini tidak ditemukan adanya perundungan (bullying) yang parah. Namun, pihak sekolah membenarkan adanya sedikit perselisihan antara almarhumah, yang disebut sebagai siswi kelas VIII, dengan seorang kakak kelas (kelas IX).
“Dari sisi surat wasiat ada sedikit perselisihan antara siswa dengan siswa. Itu akhirnya sudah diselesaikan oleh guru BK,” jelas Wawan Setiawan.
Pihak sekolah mengklaim perselisihan tersebut telah ditindaklanjuti dan diselesaikan melalui Guru BK/BP pada awal Oktober, setelah sebelumnya orang tua korban sempat datang ke sekolah.
“Kami ini dianggap normal-normal saja. Bukan keluhan bully, tapi pindah sekolah. Sampai kemarin dia bisa sekolah,” tutupnya.
3. Tewasnya Mahasiswa Universitas Udayana
Suasana duka menyelimuti Universitas Udayana (Unud) setelah seorang mahasiswa fakultas sosiologi berinisial TAS (22) ditemukan tergeletak di halaman depan Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Rabu 15 Oktober 2025.
Mahasiswa asal Cimahi, Jawa Barat, itu sempat dilarikan ke RSUP Prof Ngoerah Denpasar, namun nyawanya tidak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia pada pukul 13.03 Wita.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, tangkapan layar percakapan grup mahasiswa Unud beredar luas di media sosial. Dalam tangkapan layar tersebut, sejumlah mahasiswa menuliskan komentar yang dinilai tidak pantas dan menunjukkan kurangnya empati terhadap korban.
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Perencanaan sekaligus Plt Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Informasi FISIP Unud, I Made Anom Wiranata, menjelaskan bahwa fakultas telah memberikan sanksi akademik terhadap mahasiswa yang diduga terlibat.
“Tadi saya sudah sampaikan kepada kaprodi. Saya akan menulis surat kepada yang bersangkutan agar diberikan sanksi pengurangan nilai softskill dan itu hanya terbatas pada satu semester,” ujar Anom, Kamis 16 Oktober 2025.
Dia menambahkan bahwa sanksi ini disertai dengan kewajiban membuat surat pernyataan dan video klarifikasi permintaan maaf. “Membuat surat pernyataan, mengakui itu. Karena buktinya terlalu otentik ada screenshot-nya. Untuk memperbaiki situasi,” ujarnya.
Anom menegaskan sanksi ini merupakan upaya pembinaan agar mahasiswa memahami etika komunikasi di ruang publik.
“Sanksi ini bukanlah ekspresi kebencian kami sebagai seorang pimpinan. Kami ini seorang guru, tugasnya mendidik,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Anom juga menyebut bahwa almarhum TAS memiliki riwayat gangguan kesehatan mental sejak SMP dan telah mendapatkan penanganan psikologis.
“Menurut penuturan ibunya, almarhum TAS memiliki masalah kesehatan mental sejak SMP dan sudah mendapatkan penanganan psikologis dari konselor, ada terapinya. Lanjut sampai dengan SMA, hanya saja yang bersangkutan (TAS) menolak untuk mendapat terapi lanjutan, karena tidak mengetahui penyebabnya, tapi itu yang terjadi,” jelasnya.
Humas Universitas Udayana, Dewi Pascarani menyatakan telah menggelar rapat koordinasi bersama Fakultas FISIP, DPM, Himpunan Mahasiswa Program Studi, serta mahasiswa yang terlibat dalam percakapan tersebut.
Dewi menegaskan, pihaknya telah memastikan bahwa isi percakapan yang beredar terjadi setelah korban meninggal dunia, bukan sebelum peristiwa tersebut terjadi.
“Dengan demikian, ucapan nirempati yang beredar di media sosial tidak berkaitan atau menjadi penyebab almarhum menjatuhkan diri dari lantai atas gedung FISIP,” ungkap Dewi Pascarani, Jumat (17/10/2025).
Hasil rapat akan diteruskan kepada Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) Unud untuk dilakukan penyelidikan dan penanganan lanjutan, sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Universitas Udayana mengecam keras segala bentuk ucapan, komentar, atau tindakan nirempati, perundungan, kekerasan verbal, maupun tindakan tidak empatik, baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Tindakan seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi dan etika akademik universitas,” ucap Dewi.
Rektor Universitas Udayana I Ketut Sudarsana menyampaikan duka mendalam atas kepergian TAS. Ia juga menegaskan kampus harus menjadi ruang aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.
“Universitas akan menindak tegas setiap pelanggaran yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan akademik,” ujar Sudarsana.
Kasi Humas Polresta Denpasar Kompol I Ketut Sukadi menjelaskan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar pukul 09.00 Wita di halaman depan koridor FISIP salah satu universitas di Denpasar.
“Benar, korban seorang mahasiswa Unud jatuh dari lantai empat Gedung FISIP. Korban sempat dibawa ke RSUP Prof. Ngoerah, namun kemudian dinyatakan meninggal dunia,” ujar Sukadi.
Menurut keterangan para saksi, almarhum sempat terlihat berada di lantai empat sebelum terjatuh. Salah satu saksi, NKGA, menyebut TAS datang dari arah lift dengan wajah tampak panik, lalu duduk di kursi panjang dekat ruang kelas. Tak lama kemudian, ia tak lagi terlihat di tempat semula.
“Saksi mengaku sempat melihat sepatu korban tertinggal di tempat duduk, dan beberapa saat kemudian diketahui ada seseorang jatuh di halaman kampus,” terang Sukadi.
Saksi lain yang merupakan staf kampus, I MAW, mengaku mendengar suara keras dari arah halaman depan. Ia bersama mahasiswa dan petugas keamanan kemudian mengevakuasi TAS menggunakan kendaraan dinas kampus menuju rumah sakit.
Dari hasil pemeriksaan dokter di IGD RSUP Prof. Ngoerah, TAS mengalami luka parah di beberapa bagian tubuh.
“Korban mengalami patah pada tulang pinggul kiri dan kanan, patah tulang lengan bagian atas, serta pendarahan organ dalam. Saat tiba di rumah sakit korban masih sadar, namun kondisinya terus menurun hingga dinyatakan meninggal dunia,” ucap Sukadi.
Pihak kepolisian masih menyelidiki penyebab pasti jatuhnya mahasiswa tersebut, apakah murni kecelakaan atau ada unsur lain. Namun, keluarga menyatakan telah mengikhlaskan dan tidak melaporkan secara hukum.
“Keluarga sudah membuat surat pernyataan resmi untuk mengikhlaskan kepergian korban. Dari keterangan ibu korban, beberapa bulan terakhir memang ada perubahan perilaku pada anaknya,” tutup Sukadi.
4. Kronologi Bully Siswa SMP di Grobogan Berujung Tewas
Kepolisian sudah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus perundungan, Angga Bagas Perwira (12), siswa SMPN 1 Geyer, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tetapi karena keduanya masih di bawah umur, maka tidak dilakukan penahanan.
Dari informasi Liputan6.com, kronologi awal kematian ABP (12) murid kelas VII SMPN 1 Geyer itu, berawal saat korban melaksanakan kerja bakti bersama teman-teman di sekolah pada Sabtu 11 Oktober 2025 sekitar pukul 07.00 WIB.
Murid laki-laki kerja bakti di luar kelas, sedangkan murid perempuan kerja bakti di dalam kelas. Saat kerja bakti itu berlangsung, korban diejek salah satu temannya yang diduga pelaku.
Pelaku tersebut mengejek bahwa korban itu seperti murid perempuan lainnya. Kemudian, pelaku memaksa korban supaya masuk ke dalam kelas bergabung bersama murid-murid perempuan lainnya.
Ejekan tersebut memicu terjadinya perkelahian antara korban dengan temannya itu. Namun masalah itu berhasil dilerai dan selesai.
Sekitar pukul 11.30 WIB atau setelah jam istirahat, korban kembali terlibat perkelahian dengan pelajar lainnya.
Dalam perkelahian kedua kalinya ini, korban diduga didorong serta dipukul sampai jatuh oleh pelaku hingga menyebabkan kepala korban terbentur lantai.
Setelah terjatuh, tubuhnya mengalami kejang-kejang dan dibawa ke ruang UKS. Namun setibanya di UKS, korban diketahui sudah tidak bernapas.
Karena panik, sejumlah guru di SMPN 1 Geyer membawa korban ke Puskesmas Geyer. Setelah berada di Puskesmas dan dilakukan pengecekan oleh tim medis, ternyata korban sudah dalam kondisi meninggal dunia.
Saat dikonfirmasi, Kapolres Grobogan, AKBP Ike Yulianto Wicaksono, membenarkan. Dia kemudian menjelaskan kronologi perundungan berujung korban meninggal dunia. Bermula dari ejekan para pelaku kepada korban yang memicu perkelahian. Buntut perkelahian itu, korban mengalami luka di kepala dan meninggal di dalam kelas.
“Motif terjadinya perkelahian itu berawal dari pelaku mengejek korban dan korban tidak terima,” ujar Ike kepada wartawan.
Terpisah, Dinas Pendidikan (Disdik) Grobogan menurunkan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) untuk melakukan investigasi mendalam di sekolah tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan Grobogan Purnyomo menegaskan, kejadian perundungan ini menjadi peringatan keras bagi seluruh sekolah untuk memperkuat pengawasan dan membangun lingkungan belajar yang aman serta bebas kekerasan.
“Kami mohon maaf sebesar-besarnya dan turut berdukacita, semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir,” ucap Purnyomo.
Purnyomo mengaku telah menyerahkan pengusutan perkara itu kepada pihak kepolisian. Pihaknya memastikan telah menelaah secara utuh kasus tersebut. Selanjutnya juga memberikan pendampingan kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
“Kami sesalkan hal ini terjadi di sekolah, seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman serta rumah kedua bagi anak-anak untuk belajar dan tumbuh,” tukas Purnyomo.
5. Kasus Bullying di Lampung
Aksi bullying alias perundungan di sekolah menjadi momok bagi para orangtua, apalagi mereka yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Bak jamur di musim penghujan, aksi perundungan tak bisa hilang begitu saja dari lingkungan sekolah hanya dengan pemberian hukuman dan sejenisnya.
Diperlukan langkah nyata dari pemerintah dan pihak sekolah sekaligus orangtua siswa untuk memutus lingkaran setan aksi perundungan di sekolah.
Betapa mirisnya para orangtua saat mendengar kabar ada anak setingkat SMP meninggal dunia di sekolah akibat berkelahi yang dipicu persoalan bullying.
Seorang siswa di Lampung berinisial JR (13) tewas setelah ditusuk temannya sendiri, SR (13). Polisi menyebut aksi nekat pelaku dipicu karena kerap menjadi korban perundungan (bullying) oleh korban.
Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Yuni Iswandari Yuyun mengatakan, pelaku selama ini sering mendapat perlakuan kasar dari korban. Bentuk bullying tersebut bahkan sudah mengarah pada kekerasan fisik.
“Pelaku ini sering dibully oleh korban. Beberapa hari terakhir dia juga kerap diganggu, diajak berkelahi, bahkan pernah ditendang serta dipukul di area kepala,” kata Yuni, Selasa 30 September 2025.
Yuni bilang, SR yang semula memilih diam akhirnya hilang kendali saat kembali diprovokasi korban. Emosi yang memuncak membuat peristiwa nahas tersebut tak terelakkan. Korban mengalami sejumlah luka tusukan gunting pada bagian vital tubuhnya.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Pesisir Barat, Iptu Fabian Yafi Adinata, membenarkan insiden yang terjadi di SMPN 12 Krui Tanjung Jati, Kecamatan Pesisir Selatan, pada Senin 29 September 2025 itu.
“Benar, pagi ini kami menerima laporan adanya seorang siswa SMP meninggal dunia akibat dianiaya teman satu sekolah, meski berbeda kelas,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin 29 September 2025.
Fabian menjelaskan, korban yang merupakan warga Pekon Tanjung Setia itu meninggal dunia setelah mengalami luka tusukan di pelipis kanan, bagian belakang kepala, dan punggung.
Sementara pelaku berinisial SR (13), warga Pekon Pelita Jaya, telah diamankan polisi dan kini menjalani pemeriksaan intensif di Mapolres Pesisir Barat.
“Barang bukti berupa gunting juga sudah kami amankan,” kata Fabian.
Menurut keterangan saksi, usai kejadian korban sempat dibawa oleh dewan guru ke Puskesmas Biha, Kecamatan Pesisir Selatan. Namun, nyawa korban tidak tertolong.
“Korban meninggal dunia dalam perjalanan, jadi ketika sampai di puskesmas sudah dinyatakan meninggal,” ungkap Fabian.
6. Dugaan Bullying dan Pemerasan di Balik Tewaskan Dokter PPDS
Pada 12 Agustus 2024, dr. Aulia Risma, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi Universitas Diponegoro (Undip), ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Semarang.
Kematiannya ditegaskan sebagai dugaan bunuh diri, namun muncul spekulasi bahwa dia mengalami perundungan atau bullying di lingkungan PPDS.
Setelah kematian Aulia viral, keluarga melalui kuasa hukumnya melaporkan dugaan perundungan dan pemerasan ke Polda Jawa Tengah pada 4 September 2024.
Awalnya, pihak Undip dan RSUP Dr. Kariadi sempat membantah adanya perundungan, namun sekitar sebulan kemudian mengakui bahwa praktik perundungan memang ada dalam program PPDS Anestesiologi.
Dalam pengungkapan awal, disebut bahwa banyak mahasiswa PPDS anestesi Undip harus membayar iuran besar (sekitar Rp 20–40 juta per semester) sebagai “gotong royong” konsumsinya. Praktik iuran ini dianggap sebagai salah satu bentuk tekanan non-akademik terhadap mahasiswa baru.
Pada 24 Desember 2024, Polda Jawa Tengah secara resmi menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus dugaan bullying dan pemerasan terhadap Aulia.
Tiga tersangka tersebut adalah TE sebagai Kaprodi PPDS Anestesiologi Undip, SM selaku staf administrasi Prodi Anestesiologi FK Undip, dan Z sebagai senior dokter atau rekan sejawat yang juga berada di lingkungan PPDS Undip.
7. Bullying Juga Terjadi di Ponpes
Pendidikan pondok pesantren juga tidak menjamin anak didik terbebas dari perilaku bullying. Di Lombok NTB misalnya, seorang santri berusia 13 tahun menjadi korban perundungan teman sekolahnya hingga meninggal dunia.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Lombok Tengah Aiptu Pipin Setyaningrum membenarkan terjadinya peristiwa itu. Pipin menyebut, korban mengalami sejumlah penganiayaan berat hingga akhirnya tewas.
“Korban ditendang pelaku dan terbentur tembok, sehingga meninggal dunia,” katanya.
Peristiwa bermula ketika korban dan terduga pelaku seorang pria mengalami cekcok, setelah sebelumnya saling bullying di asrama tempat mereka sekolah atau di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Janapria, Minggu 3 Agustus 2025.
“Akibat perkelahian itu korban meninggal dunia,” ungkap Pipin.
Setelah kejadian perkelahian tersebut, korban sempat dibawa ke puskesmas, namun nyawa korban tidak bisa diselamatkan.
Setelah mendapatkan informasi terkait kasus tersebut, pihaknya melakukan upaya pemanggilan terhadap terduga pelaku maupun pimpinan pondok pesantren serta pihak keluarga korban.
Namun, terduga pelaku yang masih di bawah umur belum diamankan dan pihak korban telah menerima peristiwa ini sebagai musibah.
“Kasus ini delik murni, bukan delik aduan, sehingga tetap dilakukan upaya hukum,” katanya.
Pipin juga mengatakan sesuai undang-undang, atas perbuatannya terduga pelaku bisa dijerat dengan pasal 80 ayat 3 yang menyebabkan orang meninggal dunia dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.










