Polri mencatat sebanyak 332 anak terlibat kasus demo ricuh beberapa waktu lalu. Data anak-anak terlibat kerusuhan saat emo itu dihimpun dari 11 polda di seluruh Indonesia.
“Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri hingga tanggal 3 November 2025 mencatat terdapat 332 anak yang terlibat dalam kasus kerusuhan pada aksi unjuk rasa di 11 polda di seluruh Indonesia,” kataWakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Nunung Syaifuddin membacakan sambutan dari Kabareskrim menyampaikan hal itu dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Sinergi Antar Lembaga untuk Perlindungan Hak Anak-Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, pada Selasa (4/11/2025).
Acara ini dihadiri Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), Komnas HAM, KPAI, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
Nunung menyebut, Polda Jawa Timur menempati posisi tertinggi dengan total 144 anak, disusul Jawa Tengah 77 anak, kemudian Jawa Barat 34 anak, dan Polda Metro Jaya 36 anak, serta sisanya tersebar di DIY, NTB, Lampung, Kalbar, Sulsel, Bali, dan Sumsel.
“Dari total 332 anak tersebut, 160 anak telah menjalani diversi, 37 anak ditangani dengan pendekatan restoratif justice, 28 anak berada pada tahap 1, berkas tahap 1, kemudian 73 anak berada pada tahap 2, sementara 34 anak sudah P21,” ujar dia.
Dia membeberkan, lebih dari 90 persen anak yang terlibat merupakan pelajar SMP hingga SMK, bahkan ada yang masih mengikuti program kejar paket.
Faktor Pendorong Anak Ikut Demo
Sebagian besar bukan pelaku kriminal murni melainkan terseret karena ikut-ikutan, termobilisasi massa, atau tidak memahami konsekuensi hukum dari tindakannya.
“Ketika seorang anak terjerumus dalam kekerasan, kerusuhan, atau proses hukum lainnya maka yang terguncang bukan hanya masa depannya, tetapi juga nurani dan peradaban kita sebagai bangsa,” ucap dia.
Karena itu, FGD ini menjadi momentum penting bagi Polri dan lembaga terkait untuk menyatukan langkah dan membangun peta jalan nasional dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum. Polri menegaskan komitmen menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan kemanusiaan.
Ada empat langkah konkret yang disiapkan: membangun kebijakan lintas sektoral dalam penanganan anak bermasalah hukum yang terlibat dalam aksi sosial dan unjuk rasa, membuat SOP koordinasi antar lembaga, dan penerapan diversi serta restoratif justice.
Kemudian, menyusun rencana aksi nasional, serta memperkuat edukasi dan literasi digital agar anak tidak mudah terprovokasi untuk terlibat dalam aksi berisiko hukum.
“Semoga FGD ini menghasilkan rekomendasi strategis yang aplikatif dan menjadi pijakan kuat bagi kita semua untuk memperkokoh sistem perlindungan anak di Indonesia,” ucap dia.
Dia menekankan Bareskrim juga terus memperkuat Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO, meningkatkan kapasitas penyidik, membangun Ruang Pelayanan Khusus Ramah Anak (RPK) di seluruh wilayah, serta menggandeng Kemen PPA, Kemensos, Bapas, dan lembaga masyarakat untuk pendampingan anak.







